Selasa, 22 Juli 2014

#Kangen 2




Kenapa segala hal yang berkenaan dengan orang yang spesial dalam hati kita seringkali membuat kita kesulitan berpikir dan bernafas? Aku tak tahu kau setuju atau tidak, tapi yang jelas, ini nyata terbukti padaku. Hal-hal yang mengingatkanku pada orang itu, akan membuatku sekejap berada pada fase trance. Aku merasa jiwaku melayang, dan pikiranku mengelana kembali ke masa “kami berdua”. Itu sering terjadi begitu saja, dan dimana saja. Di bus, kampus, atau taman. Jadi sebenarnya, keberadaanku disini dengan duduk di bangku tempat pertama kali bertemu adalah melanggar pantanganku sendiri. Beresiko sekali untukku sebenarnya duduk dan menunggu disini. Bisa saja aku menjadi liar tak terkendali, atau meledakkan apa yang ada di benakku, di tempat umum macam taman ini.

 Seharusnya aku duduk manis saja di rumah. Menghapus nomor handphonenya, dan segala yang berhubungan dengannya. Kemudian mulai mengerjakan revisi skripsiku yang sudah 2 bulan tak kulihat sama sekali. Mungkin itu akan lebih efektif. Semester depan aku sudah jadi sarjana. Menghadapi hal baru, dan secara otomatis, aku akan bertemu manusia baru, yang semoga lebih tampan dari dia, dan punya lesung pipi dalam seperti dia. Eh tidak! Dia tak boleh punya lesung pipi. Paling tidak, kalau dia tersenyum, aku harus merasa aman dan terlindungi. Tapi lagi lagi aku hanya bisa memarahi diriku sendiri di dalam hati karena melanggar ikrarku sendiri, dan akhirnya malah menghubunginya. Menanyakan kabarnya, dan peliknya; meminta bertemu dengannya.

 Sepertinya kepalaku sudah rusak permanen!.

Heh! Gimana kalau gara-gara ini dia berpikir kamu  masih berharap sama dia?”

“Ya jelas dia pasti bakal mikir kaya gitu, gimana sih? Sama aja kaya orang di hutan liat asap di langit. Udah jelas ada yang bakar-bakaran!”

“Iya sih, terus gimana?”

“Iya apanya yang iya?”

“Iya... iya emang aku masih suka sama dia...”

Aaarghh...!!! aku mengacak kepalaku sendiri. Beberapa “aku” dalam beberapa versi diriku masih berdebat di dalam. Bahkan “aku” yang nomer sekian malah menyarankan agar aku menggali lubang kuburan dari sekarang. Perdebatan pelik ini tentu saja tak akan usai kecuali objek perdebatan mengakhirinya dengan sebuah pernyataan dia datang. Atau tidak. Aku memang menanyakan kabarnya, dan meminta untuk bertemu dengannya. Tapi hanya sampai itu. Ia bahkan tak sekalipun membalas pesanku. Lalu sedang apa aku disini? Mengharap dia benar-benar akan datang?, bagaimana kalau dia ternyata bahkan sudah punya istri berjilbab lebar, dengan kulit putih merona dan jabang bayi berumur 5 bulan di perutnya? Mau apa kamu?. Bagaimana kalau sms kamu saja salah kirim? Atau dia sudah ganti nomor dan kamu nggak tahu?.

Kadang aku ingin punya kemampuan untuk membunuh pikiranku yang banyak omong ini. Kepalaku ini rasanya penuh sekali dengan berbagai pikiran, pertanyaan, pernyataan, emosi, dan perasaan. Isinya teramat ramai, dengan aku yang penuh tawa, dengan aku yang berisi emosi, dengan aku yang banyak bicara, dengan aku yang sok cantik, dengan aku yang berkacamata, dengan aku yang suka pesta, dan aku yang sedang berdzikir. Sangat berisik. Ada tombol mute-kah di kepalaku? Atau aku memang perlu mengunjungi psikiater?.
. . . 

Minggu, 20 Juli 2014

#Mengobrol Saja




Duduk berhadapan.
Lutut kami beradu rapat berkat tempat duduk di ujung ruangan yang ‘seadanya’.
Aku meringis ngilu dan mulas tiap kali lutut kami beradu.
Demi menyembunyikan gemeretak debur jantung dan gigil tubuhku kusibukkan diri mengaduk-aduk gelas kopi yang sesungguhnya tak perlu diaduk. Aku tak pernah memesan kopi dengan gula.
Aku nyengir melihatnya tengah menhatapku setelah menyeruput kpoi hitam panasnya.
“tumben lewat sini?”.
Kepercayaan diriku semakin merosot.
Dia pasti tengah menyindirku.
Aku yakin setiap kali aku melewati tempat ini dia pasti melihatku melintas, dan pernah memergoki aku yang juga tengah menatapnya dari balik kaca berembun.
Tak mampu menjawab apapun aku hanya meringis.
“Kamu.. . sehat?”.
Hanya pertanyaan standar dan bodoh macam itu saja yang mampu meluncur dari mulutku.
Ia mengangguk.
Lama kelamaan percakapan kami pasti akan menjadi pembicaraan tanpa kata dan hanya melibatkan gesture-gesture aneh saja.
Jangan bayangkan kami sedang berada di coffee shop dengan harga segelas kopi saja nolnya sudah sudah berderet empat digit di belakang angka utama, kemudian di luar tengah hujan deras.
Memang sih di luar tengah hujan deras sih, plus angin kencang.
Tapi ini bukan coffee shop. Lebih tepatnya warung kopi tempat para bapak dan supir-supir, termasuk mahasiswa nongkrong sambil menonton bola.
Jawabannya sudah menjadi tepat sekali aku berada di tempat ini tentu saja bukan karena sengaja.,
Sebuah keterpaksaan.
Karena hujan deras mengguyur tiba-tiba dan payungku yang biasa kubawa kemana- mana itu mendadak saja tertinggal di loker perustakaan plus aku tengah memikul jilidan hasil skripsiku.
Dengan berat hati aku berbelok di warung kopi dengan wangi semerbak ini.
Sembunyi-sembunyi masuk, merunduk dan duduk di kursi paling belakang dan tertutup oleh sekumpulan bapak berbadan besar ternyata tak mampu menghalangi kemampuannya dalam melacakku.
Dalam satu menit saja dia sudah berdiri di depanku dan membawakan segelas kopi hitam kesukaanku.
Dan segelas miliknya.
“Tanpa gula ya?”.
Aku mengangkat gelasku ke atas, menatap ke dalam gelas kaca yang di dalamnya bertumpuk partikel-partikel hitam yang diolah langsung oleh tangan ayahnya. Dipetik, dijemur, disangrai hingga ditumbuk secara manual oleh ayahnya.
“Wangi”.
Anku menghisap aroma menguar yang menguar bersamaan dengan kepulan asap putih dari gelas.
Diseduh dengan air panas. Dan langsung begitu saja disajikan dalam gelas-gelas kaca atau gelas belimbing.  Rasanya selalu sama, dan khas.
Ia menatapku seperti ingin menyelidiki.
“Tepat mewakili karakter kamu”.
“Tak ada manis-manisnya.”
“. . . Gelap”.
“Tapi selalu saja ada orang istimewa yang menyukai kopi jenis ini”.

Senin, 14 Juli 2014

Just Missed You Dad (As Always)




Ketika gua mundur kembali dan melihat ke belakang, gua berjengit hebat dan tersentak melihat fakta telah beribu detik gua buang begitu saja. Agak menyesal. Tapi nggak terlalu juga sih. gua anggap beberapa bulan belakangan ini adalah penebusan dosa buat adek-adek gua termasuk almarhum babeh gua yang nggak pernah gua urusin selama ini. Gua bersyukur, gua bisa ngurus mereka, nungguin mereka pulang sekolah, nyuapin makan, nyiapin makan mereka sorenya, dan marah-marah sama mereka kalo ngeyel nggak mau mandi.
Dan gua, amat bersyukur, bisa menemani bapak, sampai helaan nafas terakhirnya.
Bisa duduk di dekatnya, dan membacakannya surat yasin.
Ada beberapa fase kehidupan yang belakangan karena terlalu rushed, sampe bikin gua kelelahan dan shock akan semua ini, semua terasa sangat terburu-buru, seperti dikejar sesuatu. Gua seperti nggak pernah percaya kalau beliau telah pergi, hampir di seluruh malam gua, gua selalu bermimpi tentang beliau. Bahkan saat beliau dinyatakan meninggal, dan dimakamkan, gau sama sekali nggak menangis.
Terlalu mengejutkan sesungguhnya.
Karena selama ini gua punya keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi kalau beliau bakalan sembuh dan kembali seperti bapak kami yang biasanya. Gua terlalu percaya dengan anggukan kepala beliau, saat gua tanya “Bapak kepengen sembuh kan?”.
Anggukannya itu gua anggap pernyataan bahwa beliau benar-benar ingin sembuh melawan segala sakitnya, dan berdamai dengan dirinya sendiri.
Satu kemungkinan itu ; Kematian. Tentu saja pernah terpikir oleh gua, ketika melihat beliau terbaring lemah, dengan bobot tubuh yang menurun drastis akibat tak pernah makan apapun, dan tatapan matanya yang kosong, juga kemampuannya dalam mengingat. Karena di akhir hayatnya, hanya beberapa kali saja beliau ingat akan putra-putrinya.
The rest is; dia seperti tinggal entah dimana, ia seperti kehilangan jiwanya.
Satu hal yang pasti selalu gua yakini tuhan tahu yang terbaik buat kita.
Adalah ketika ia memanggil bapak kami, dan menariknya ke sisi-Nya, itu artinya tuhan lebih sayang pada ayah kami, untuk akhirnya memanggilnya.
Malam itu, nggak ada yang tahu, ketika nafas beliau memendek, dan tubuhnya berkeringat dingin, saat gua membacakan surat yasin di dekatnya, tubuh gua bergetar hebat, membayangkan kemungkina terbesar dari semua itu ; Kematian yang berputar-putar hendak mengambil ayah kami.
Seluruh pikiran gua dengan hebatnya bekerja sama menolak kemungkinan itu, dan meyakinkan diri kalau bapak pasti bisa melewati malam itu, beliau hanya sedang kesakitan seperti biasa, dan akan mereda sebentar lagi.
Beberapa ayat surat yasin yang gua baca tersendat karena suara gua yang tercekat dan mata gua yang berembun, ditambah, kepala gua yang terasa berputar. Bumi berotasi, dan tuhan lupa membuat gua tak sadar kalau kami makhluk yang berada di dalamnya ikut berotasi.
Selesai bacaan yasin gua yang kedua kali, gua menatap mamah yang panik dan mencoba menelepon adik-adiknya, menatap tubuh bapak, dan mengusap kepalanya. Bahunya sudah tak bergerak. Dan nafasnya sudah tak terdengar. Tubuh gua semakin terasa limbung, dan semakin tinggi hantaman yang datang, semakin gua berusaha kabur dari kenyataan itu, gua mecoba mengecek  nadi beliau yang sudah tak berdetak, denyut jantungnya. Dan memanggil-manggil namanya. Berulang kali.
Seakan beliau tengah tertidur pulas, dan gua harus membangunkannya agar gua yakin kalau beliau baik-baik saja. Namun tentu saja tak ada gerakan apapun. Apalagi sahutan. Sepi.
Masih dalam ketidak percayaan, dan penyangkalan, karena tubuhnya masih terasa hangat, gua selimuti beliau, dan menunggu orang lain datang ke rumah kami. Tak percaya tentu saja. Beliau bahkan tak nampak kesakitan, seperti bapak yang biasanya.  Hanya nafasnya saja yang menjadi rapat, sampai akhirnya tak lagi mengambil nafas.
Hingga dini hari itu, orang datang dan mengucapkan Innalillahi, gua masih diam, dan yakin dalam hati kalau dia salah diagnosa, sebentar lagi bapak akan bangun kembali mengejutkan orang-orang yang datang. Tapi tentu saja tidak. Bapak tetap terbujur kaku. Dan tubuhnya semakin dingin.
Hari itu beliau telah pergi.
Dan semakin kenyataan memaksa gua mengakui hal itu, semakin gua menghindari untuk mengakuinya. Penolakan-penolakan itu mewujud menjadi keengganan gua untuk menangis, dan memilih untuk diam. Padahal hari itu punggung gua udah terasa kaku dan pengap menahan semuanya.
Tapi tetap saja, rasanya gua nggak punya kesempatan untuk menangis ketika melihat adek-adek gua yang masih kecil, dan ibu gua yang berdiri tegar menatap jenazah bapak. Bagaimana bisa gua akan menangis?. Dan jika gua menangis, kapan gua akan bisa berhenti?.
Hari itu gua nggak menangis.
Dan akhinya gua demam tinggi.
Ya, tuhan sudah mengambilnya kembali.
He’ll never comeback, but you’ll always here.