Selasa, 24 November 2015

Sebuah Pembicaraan Panjang yang Nggak Penting-Penting Amat, Tapi Yaudahlah.

http://orig03.deviantart.net/746d/f/2010/080/e/c/good_morning__rain_by_morethanprincess.jpg



Belakangan inih merasa kurang bertanggung jawab tehadap diri sendiri. Setelah membiarkan diri ngga nulis sama sekali, posting di blog apalagi. Membiarkan buku sketchbook tergeletak begitu saja. 
Gw pernah satu kali dibilangin sama adek gw yang tampan tiada duanya saat gw dibonceng motor pulang ke rumah, gw curhat sama dia bilang kalo semakin kemari, suasana bulan Ramadhan tidak sedalem saat gw masih SMP di Cipasung, nggak segreget dulu saat masih ngaji pasaran malem-malem. Dan lebaran, euphorianya tak semeriah tahun-tahun sebelumnya.
Gw menjawab dalam hati, kalo salah satu penyebabnya tentu saja karena kehilangan kami setahun yang lalu. Lalu adek gw nyahut :
“Bukan suasananya yang salah, atau lingkungan yang berubah. Yang jelas kitanya sudah bertumbuh dewasa, dan banyak yang dipikirkan selain kue-kue dan baju baru di hari raya.”
Gw terdiam.
Mencoba mencerna kalimatnya. Mungkin sedikit banyak gw setuju sama dia. Ralat. Ngga sedikit sih, gw setuju sama kalimat dia.
Selama ini gw terlalu sering menyalahkan diri sendiri, dan berpikir “Ahh mungkin gw kebanyakan dosa, jadi feelnya ngga berasa. . . “. Atau kadang gw menyalahkan lingkungan gw : “Dunia semakin kacau balau, orang yang bikin dosa makin banyak, ngga heran kalo Bulan Ramadhan ngga terasa kekhusuannya”.
Jadi saat itu, hanya ada 2 opini yang gw miliki mengenai kesakralan, atau apapun itu istilahnya mengenai bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
Yang disebut belakangan, tetap gw rindukan kehadirannya karena 1 hal : opor ayam buatan Mamah. Nothing special about it sebenarnya, ngga ada bumbu rahasia, ngga pakek ayam mahal atau apapun. Hanya karena terbiasa saja. Sejak gw kecil, kalo lebaran itu pasti ada opor ayam, dan yang bikin ituh mamah. Biasanya sampek tengah malem pulaa.
Ngga pernah sekalipun terlintas di kepala gw, untuk berpikir kemungkinan itu. Kemungkinan bahwa manusia berubah. Gw berubah. Ya engga jadi Power Ranger juga sh, tapi memang banyak yang berubah dalam tahap pendewasaan diri kita.
Ramadhan SMP gw, sama SMA gw terasa beda banget, padahal gw masih tinggal di Asrama Esa Lama, kamar gw masih 6B ngga berubah, tapi bahkan bunyi rintik hujan gerimis di pagi hari saat hari masih sepi, sesaatb setelah kita pulang mengaji subuh pun terdengar beda. Saat itu gw selalu mencari. Apa yang salah? Dimana kurangnya? Kenapa beda?. Kenapa dinginnya pagi ngga terasa seakrab saat gw lebih muda?.
Gw lupa kalau bahkan fokus gw sudah berbeda, gw saat SMP dan SMA adalah gw yang berbeda, SMA adek gw udah 4 aja, SMP adek gw baru 2. *meh*
Keinginan gw berbeda, mimpi-mimpi gw makin banyak, makin besar, tingkat stres pun tentu saja; nambah.
Posibilitas yang sama sekali ngga terpikirkan oleh gw selama ini. Tentu saja gw ngga menganggap kalimat adek gw benar 100% tapi paling tidak, gw ngga akan selalu menyalahkan pihak lain saat nanti ramadhan tiba.
Mungkin all i’ve to do is change my point of view?.
Bhayy.

http://www.myrkothum.com/wp-content/uploads/2008/08/self-reflection_1024x768.jpg

dan kenapa harus mata satu lagi?  -___-"

Dalam pada ini, sebenernya gw ngga lagi bakal membahas Idul Fitri, ngga juga ngebahas soal bulan Ramadhan. Gw bakal bahas tentang. . . 
 
Apa ya??
Tahulah gw sekarang, kalo segala sesuatu yang ahli selalu berawal karena terbiasa. Karena berulang-ulang dilakukan. I mean gini, gw biarkan diri gw sendiri ngga nulis, ngga menyelesaikan kalimat-kalimat yang gw bikin, bahkan ada beberapa waktu yang gw biarkan kosong tanpa nulis sama sekali. Rasanya? Hampa.
Hampa itu berasa kaya ada bolongan di hati gw *tsaaahh* >> tiba-tiba ada backsound Lubang Di Dalam Hati-Letto<<. Atau kaya kepala muter-muter, terus ngocoblak ga berhenti. Ini kepala memang dari sananya suka ngajak ngobrol melulu, yaa kebanyakan sih yang ngga penting-penting banget, sebagian isinya cuma lamunan. Dan begitulah, isi kepala yang biasanya penuh ditampung di tulisan itu, tiba-tiba ditutup paksa lubangnya. Padahal dia masih terus aja merepet panjang. Akhirnya semuanya numpuk di kepala.
Saat gw mau mulai lagi untuk nulis, tiba-tiba aja, baru 2 kalimat gw mandeg. Blank gitu, gw pancing-pancing pakek kata awal apapun gw nggak sanggup ngelanjutin. Kaya isi kepala gw menolak diajak kerja sama. Yaaa. . . gw sadar kemudian, sekalipun gw terbiasa nulis (dan kebanyakan memang ngga gitu penting), kemudian gw berhenti menuliskan apa yang ada di kepala gw. Setelah sekian lama mati suri, kemudian mencoba kembali menulis, rasanya nggak sama. Semua kaku. Dan asing. Nggak jauh beda kaya lagi belajar naik sepeda, mencoba nyari keseimbangan, oleng kiri-kanan, melaju pelan-pelan, kena polisi tidur, terus jungkir ke selokan. Ya gitu deh.

Rasanya?

Nelangsa.

Kamis, 01 Oktober 2015

#An Unrevealed Me : See You Again

http://surabaya.panduanwisata.id/files/2015/05/Kopi-dan-cemilan-sonofmountmalang.files_.wordpress.jpg


Duduk berhadapan.
Lutut kami beradu rapat berkat tempat duduk di ujung ruangan yang ‘seadanya’.
Aku meringis ngilu dan mulas tiap kali lutut kami beradu.
Demi menyembunyikan gemuruh debur jantung dan gigil tubuhku kusibukkan diri mengaduk-aduk gelas kopi yang sesungguhnya tak perlu diaduk. Aku tak pernah memesan kopi dengan gula.
Aku nyengir melihatnya tengah menhatapku setelah menyeruput kpoi hitam panasnya.
“tumben lewat sini?”.
Kepercayaan diriku semakin merosot.
Dia pasti tengah menyindirku.
Aku yakin setiap kali aku melewati tempat ini dia pasti melihatku melintas, dan pernah memergoki aku yang juga tengah menatapnya dari balik kaca berembun.
Tak mampu menjawab apapun aku hanya meringis.
“Kamu. . . sehat?”.
Hanya pertanyaan standar dan bodoh macam itu saja yang mampu meluncur dari mulutku.
Ia mengangguk.
Lama kelamaan percakapan kami pasti akan menjadi pembicaraan tanpa kata dan hanya melibatkan gesture-gesture aneh saja.
Jangan bayangkan kami sedang berada di coffee shop dengan harga segelas kopi saja nolnya sudah sudah berderet empat digit di belakang angka utama, kemudian di luar tengah hujan deras.
Memang sih di luar tengah hujan deras sih, plus angin kencang.
Tapi ini bukan coffee shop. Lebih tepatnya warung kopi tempat para bapak dan supir-supir, termasuk mahasiswa nongkrong sambil menonton bola.
Jawabannya sudah menjadi tepat sekali aku berada di tempat ini tentu saja bukan karena sengaja.
Sebuah keterpaksaan.
Karena hujan deras mengguyur tiba-tiba dan payungku yang biasa kubawa kemana- mana itu mendadak saja tertinggal di loker perustakaan plus aku tengah memikul jilidan hasil skripsiku.
Dengan berat hati aku berbelok di warung kopi dengan wangi semerbak ini.
Sembunyi-sembunyi masuk, merunduk dan duduk di kursi paling belakang dan tertutup oleh sekumpulan bapak berbadan besar ternyata tak mampu menghalangi kemampuannya dalam melacakku.
Dalam satu menit saja dia sudah berdiri di depanku dan membawakan segelas kopi hitam kesukaanku.
Dan segelas miliknya.
“Tanpa gula ya?”.
Aku mengangkat gelasku ke atas, menatap ke dalam gelas kaca yang di dalamnya bertumpuk partikel-partikel hitam yang diolah langsung oleh tangan ayahnya. Dipetik, dijemur, disangrai hingga ditumbuk secara manual oleh ayahnya.
“Wangi”.
Aku menghisap aroma yang melayang bersamaan dengan kepulan asap putih dari gelas.
Diseduh dengan air panas. Dan langsung begitu saja disajikan dalam gelas-gelas kaca atau gelas belimbing.  Rasanya selalu sama, dan khas.
Ia menatapku seperti ingin menyelidiki.
“Tepat mewakili karakter kamu”.
“Tak ada manis-manisnya.”
Aku mengangkat kedua alisku, menanti analisanya.
“Terima kasih atas pujiannya”. Kubalas juga akhirnya
Kedua sudut bibirnya terangkat. Mau tak mau membuat lesung pipitnya ikut muncul.
Ingin sekali saja kalau boleh kusentuh lekukan dalam di pipi kirinya itu, entah lekukan itu, entah sudut bibir yang melengkung itu, atau entah karena dia yang memiliki semuanya hingga membuat kopi yang baru kusesap sesaat yang lalu ini jadi memabukkan, kepalaku agak berputar sedikit, dan ada sesuatu dalam perutku berdenyut-denyut, semacam rasa mulas yang muncul misterius.
Sensasi yang biasa terjadi saat di dekatnya. Kupikir setelah lama menghindarinya, rasa semacam ini akan menghilang dengan sendirinya. Tapi apa mau dikata, toh saat aku sudah berada di hadapannya, baru aku tahu kalau aku masih tak berdaya.
Ah, dia tentu saja tak tahu soal ini, dipikirnya aku tak pernah sekalipun serius mau mempertimbangkan kehadirannya. Aku sedikit merasa sedih karena ia tak tahu tentang isi kepalaku, namun di sisi lain aku juga bersukur, karena jauh dalam diriku yang defensif ini, aku masih saja tak mampu mempercayai orang begitu saja. Membayangkan mereka tahu perasaanku yang sebenarnya saja membuatku mual.
Ia mengerling ke arah tumpukan jilidanku.
“Sudah selesai semua?”.
Aku tersenyum kaku, melihat dirinya dan melihat tumpukan skripsiku, berarti membuatku ingat betapa panjang cerita yang kami lewat begitu saja, dan membuatku makin tak betah berada di dekatnya.
“Baru ujian akhir minggu depan”. Kujawab pelan.
Ia mengangguk. Ekspresinya tak bisa kutebak.
Masih banyak yang ingin kusampaikan padanya. Aku ingin sekali banyak berbicara dengannya. Bahkan kalau boleh langsung kubilang saja aku tak keberatan dia sering-sering berkunjung ke rumahku, menjemputku usai latihan Karate, atau mengundangku ke warung kopi milik bapaknya.
Aku ingin menghabiskan wakktu dengan berbicara banyak hal dengannya, berdebat soal kisruh politik, membicarakan film-film Tim Burton, berargumen soal style Kapten Jack Sparrow yang banyak mengingatkanku pada gaya panggung Hyde, dan dia tak setuju soal pendapatku.
Just like the old time.
Ketika aku, dan dia masih menjadi Kami.
Aku menatap ke arah jendela, menyadari butiran hujan sudah berubah jadi rinai kecil. Sedikit lega, dan lebih banyak tak puas, karena alasanku bertahan menjadi lemah.
Aku menarik nafas pelan.
Mungkin kami bisa bersama lagi. Tapi ada yang perlu diperbaiki, dia mungkin perlu bersabar sedikit lagi, karena banyak yang harus kubongkar ulang dalam kepala dan hatiku.
Agar kelak saat kami bertemu kembali aku tak ragu lagi menggenggam tangannya.

Minggu, 03 Mei 2015

Pameran Komik Indonesia, dan Cerita Setelahnya



Jadi gini aja deh, daripada gua mulai nulis nggak jelas lagi, dan akhirnya setelah 2 paragraf gua nulis, kemudian bengong dan menghela nafas sembari berkata “Nulis apa lagi ya?”
Jadi gua simpulkan, hal yang termudah bagi gua adalah menuliskan apa saja yang telah gua lakukan belakangan ini biar gua nggak menyesali keadaan dimana gua nggak produktif dan bodoh sekali menyia-nyiakan kepala dan hati nggak menulis apapun. Jadi gua putuskan gua kasih list apa saja yang telah terjadi belakangan ini:

1   1.     Welcome back My Lovely Toshiba

Laptop Toshiba kesayangan gua *dan emang satu-satunya, sudah gua bawa ke pengobatan laptop.*baca : reparasi*, yang mana kisah sebelumnya gegara gua tinggal 3 bulan di purwokerto tak tersentuh, kemudian sukses menjadi sarang semut dalam lemari, berakhir dengan keyboardnya ngambek nggak mau jalan. Gua bawa ini laptop ke Mall Citraland lante 5, dan berhasil sembuh dengan harga 250.000. hahah. Senangnya hati ini melihat Toshiba-kun ini kembali sempurna. *Smocchh!!

2. Gua menggembel ke Kota Tua.

 
Jadi cerita awal mulanya adalah gua janjian ketemuan sama sahabat gua yang sekarang lagi kuliah di IIQ, yes. IIQ yang ituh, Institut Ilmu Al Qur’an di bilangan Ciputat. Gua ajak ketemu di Kota Tua biar kita bisa sekalian jalan-jalan, dan mumpung gua juga belum pernah kesana. Kita akan reunian setelah 4 tahun terpisahkan jarak Purwokerto-bandung.

Sayangnya tuhan berkata lain. Malemnya dia tepar, demam karena kecapekan. Sahabat gua yang satu ini memang mudah kelelahan, anaknya sih super atraktif,  sangat bawel dan cerewet, plus berisik, tapi gitu-gitu dia gampang capek dan akhirnya sakit. Fin. Kita nggak jadi ketemu. Sedih sih, tapi apa mau dikata?. 

Pada akhirnya gua memutuskan tetep lanjut ke jakarta setelah beberapa jam sebelumnya nonton Net. TV ada acara Pameran Komik Indonesia di Museum Mandiri, tepat di seberang Halte Busway Kota. Gua yang notabene  Cuma hapal jalan kalo naek busway, akhirnya jalan dong kesana. Sendiri pulak.

Eniwey, banyak yang heran kenapa gua jalan nggak ngajak temen, ato mungkin ngajak gebetan *yang sudah pasti nggak bakal kejadian karena gua bukan tipe wanita pemberani macam itu. Faktanya, walo banyak orang bilang gua cewe mengerikan dan nggak feminin, dan nggak peka, dan nggak kecwek-cewekan, aslinya gua ini cewek cemen yang kalo suka sama orang paling bisanya hanya bisa menatap dari kejauha, ato kalo istilahnya bang Dika ; Jatuh Cinta Diam Diam, dan seringkali akhirnya Patah Hatipun Diam-Diam. Jadi inti dari intinya adalah ya gua cemen. Wkwkwk.

So, ngajak gebetan sudah jelas nggak mungkin gua lakukan, terlebih lagi, berbulan-bulan gua idup di jakarta, nggak sekalipun gua menemukan lelaki yang gua bisa droll karenanya, ato bikin gua geer, Cuma karena ada orangnya. Kesimpulan dari pernyataan di atas; Kehidupan percintaan gua = Flat.

Gua juga bukan orang tukang ambil inisiatif, kemudian mengajak berkumpul orang satu RT dan membawa mereka jalan-jalan ikutin gw. Gua lebih suka jalan sendiri, kalo ada yang mau ikut ya ayok, kalo enggak ya suka-suka situ, that’s not my problem. Kalo ada yang ngajak? Ya ayok, i can do my best as follower, but i am a worst leader, and i am originally an individual person. Hahaha.

Jadi, cukuplah penjelasan di atas untuk menerangkan kenapa gua berakhir dengan jalan sendiri ke Kota Tua, wilayah yang nggak gua pahami sebelumnya.

Buat nyampe Kota Tua dari kos gua gampang sekali, gua tinggal jalan kaki sampe Halte Duri Kepa, truss naik busway Jurusan Lebak Bulus-Harmoni, nyampe Harmoni, gua transit, dan tinggal tunggu busway Jurusan Blok M-Kota. Naik bisnya, duduk manis, dan bis akan berakhr di halte Kota, dimana halte itu juga merupakan halte terakhir yang juga terintegrasi langsung dengan stasiun Kereta Api Kota.

Gua tinggal jalan turun ngikutin massa yang bergerak menuju ke basement, di bawah sana massa terbagi 3 : yang berjalan menuju atas, ke Arah Kota Tua, layaknya gua, yang belok lanjut ke kanan yang berarti ke arah Stasiun Kereta, atau kelompok terakhir : nggak kemana-mana,  nongkrong aja di bawah deket kolam yang aernya uda ijo banget nggak keurus, dan pacaran.
Hebatnya, saking nggak tahunya, gua nggak paham kalo ternyata begitu gua keluar dari halte ternyata langsung berhadapan dengan Museum Mandiri, tujuan utama gue. Waoww. Gua terpana, nggak nyangka akan sedekat itu dengan tujuan akhir gua.

Masuklah akhirnya gua ke dalem. Yang suasananya gelap, dan gelap dan suram.

Di dalemnya sudah banyak stand berjejer memamerkan produk andalannya sendiri, ada yang bergerak indie, ada perusahaan penerbitan yang memang sudah biasa malang melintang di dunia komik indonesia, ada yang jualan tab drawing, dan ada juga yang menyediakan kursus sketching di tempat.

Standnya lumayan banyak,  dan terutama hasil karya anak-anak bangsa ini yang luar biasa menakjubkan dan mengagumkan. Oke, we know it. Anak indonesia itu hebat-hebat dan keren, hanya memang nggak keurus, dan nggak diperhatiin, nggak pernah dimandiin, disisirin, dikasi makan, apalagi dikasi baju bagus. Jadilah mereka jalan sendiri, berusaha sendiri, untuk dilihat, diperhatikan, dan membuat karyanya diakui. Atau yang banyak terjadi, diambillah mereka yang berbakat ini oleh negara luar, terkenallah mereka di luar sana, dan pemerintah kita hanya bisa ternganga. *okey, no offense, tapi memang gua sering sekali menyalahkan pemerintah kalo ada keadaan nggak ngenakin soal negeri ini. Huahaha*







Gua jalan, taking pics sana sini dengan sense of photography kelas balita. Puas mengitari sayap kiri, gua jelajahi stand sayap kanan, stand sebelah kanan bisa dibilang lebih sedikit dari yang kiri, mungkin karena ruangannya lebih luas, atau memang standnya sedikit, atau mungkin sebelumnya banyak,tapi udah pada tutup lapak duluan. Sampe di hampir stand terakhirlah gua terpana, dan tersihir sama stand ini. Yang jaga 2 mas-mas, gua bahkan nggak ngeh stand apa yang tengah mereka pamerin, apakah itu penerbitan komik? Atau games? Atau kelas menggambar, atau apaan. Yang jelas di meja mereka jualan beberapa barang, _nggak gua begitu inget, pokonya ada kaos bergambar, talenan yang atasnya dikasih gegambaran juga- macem gitulah.

pemandangan di Musem Mandiri hari itu

Gua liat di atas meja ada satu buku sketchbook, yang nampaknya sudah pernah dicoreti, karena bagian kavernya sudah agak keriting. Gua permisi sama mas-mas yang jaga buat buka sketchbook itu dan liat isinya.

Mas yang agak kecil badannya mengizinkan, dan ngasih gua kursi. Gua pun duduk dan mulai membuka itu sketchbook.
*Srett* satu halaman dibuka.
Gua terhenyak. Eh. Terpana. Eh. Terpikat.
Di dalemnya ada gambar.** ya ealaahhh ***
Bukan gitu, maksut gua!! Di dalemnya jelas ada gambar, namanya juga sketchbook, kalo dalemnya angka-angka, itu pasti buku soal matematika. Perkaranya adalah ;
Gambarnya bagus banget!.

Okeh, gua memang bukan orang yang berkompeten untuk menilai yang ini bagus, ato yang onoh jelek, si anu animator berbakat, dan si anu nggak ada masa depan. Gua hanyalah pengunjung, yang terkesima, karena melihat barang asli, hasil karya di depan gua, yang disketsa langsung dengan pensil, ditebelin dengan bulpen 0.1 mili, dan terkadang diwarnain lagi. Gambar-gambarnya superb. Tema utamanya sih jelas karikatur. Orang ini genre komiknya lebih ke karikatur, dan gambar-gambarnya berbicara banyak. satu buku sketchbook itu ternyata khatam seluruhnya dipenuhi gambar karya orang yang sama. Tema karikaturnya macem-macem, mulai dari Menpora, Kungfu panda, Lee Jae Sook, Batman, dan beberapa karikatur wajah yang kemungkinan besar kenalan si kartunis karena gua nggak kenal.

 here i show you those pics :

 Menpora Indonesia with their moustache. they've really great string that attached them each other :)



Gua penasaran abis sama yang bikin gambar-gambar kece ituh, gua tanya sama mas-mas depan gua yang bikin siapa, orangnya yang mana; mas-mas yang tadi ngasih gua kursi jawab, yang bikin gambar itu namanya Oscar, dan orangnya adalah dia sendiri.
Oh.
Wait?
What?!.

Jadi mas-mas imut berkacamata di depan gua inih yang ngegambar dengan begitu dahsyatnya?.

gua mulai bertanya-tanya hal yang nggak penting, yang biasa gua ungkapin ke orang-orang disekitar gua, kaya ; “mas koq bisa ngegambar kaya gini sih??’” yang tentu saja akan membuat penjawab kesulitan menjawab, atau dalam kebanyakan kasus membuat mereka jengkel dan senewen sama gua sebagai penanya yang nggak penting,

Gua mengobrol beberapa hal sama mas-mas di hadapan gua, mereka cerita kalo untuk komunitas karikatur yang dia ikutin sering ngadain acara kumpul gitu. Masnya nanya balik gua apa gua suka gambar juga?. Gua nyengir, dan nggak enak untuk jawab karena berhadapan dengan orang keren macem gitu, sedangkan gua mentok-mentok gambar muka cewek manga dengan mata nggak singkron kiri-kanan.

Obrolan selesai, dengan gua ambil card name punya mereka.
Gua keluar dengan hati riang gembira. Hanya satu hal yang gua sesalin; gua nggak berani minta foto bareng sama mas-mas bernama Oscar ituh. 

Hah!. Cemen emang.

     3. Hello, Kota Tua.
       
pemandangan yang terlihat pertama kali saat gua menginjakkan kaki di wilayah kota tua

     Gua masih lanjut ngelilingin kota tua, dalam kondisi udah jam 3 lewat. Gua penasaran dengan museum Fatahillah. Gua jalan terus nemu museum Bank Indonesia yang bediri mentereng gede banget sebelahan sama Museum Mandiri. Bediri di pertigaan jalan gua bengong, yang manakah yang dimaksud dengan “Kota Tua” itu? Mana Fatahillahnya?. Gua tanya ama abang gorengan bilangnya tuuuuhhh sambil nunjuk lurus ke depan ke jalur semacam pejalan kaki yang ramai sama manusia, tapi nggak keliatan ada macem bangunan museum lagi. Gua bingung, tapi akhirnya nurut jalan kesana, berhimpitan dengan pengunjung lain, yang rata-rata *atau semuanya*, datang bersama kawan atau pasangannya. Nggak kayak gua yang udah dateng sendiri, pake sendal jepit swallow, dekil pula. Di jalur inih ternyata ramai banget sama yang jualan, mulai dari baju-baju, gelang-gelang eksotik favorit gua yang biasanya di jogja beli 10rebu dapet 3, yang jual es potong *banyak banget*, sampe yang jual jasa baca garis tangan. Masih gua nggak nemu itu museum Fatahillah. Gua makin tersesat ke dalam jalur ituh. Makin dalem ternyata  disana gua nemu sebuah lapangan yang amat luas, dimana di lapangan luas itu, ada lebih banyak lagi manusia, yang foto-foto, yang jajan, yang pacaran, yang gandengan tangan, yang pacaran, dan yang pacaran. Gitu aja terus sampe kiamat.





Gua bengong, ketika menatap bangunan dan terpampang namanya dengan latar Oranye; Museum Kantor Pos, keudian gua terharu. Gua jalan kesana, berniat menemukan, apa isinya.
Masuk ke dalem, ada bapak penjaga pintu *kaya macem malaikat Malik ato Ridwan kali yah, yang nanya sama gua apa gua mau liat pameran?, gua bengong. Emang ada pameran apaan pak?” tanya gua, yang dengan segera mata ini melihat setumpuk flyer di atas meja, gua liat keterangan disana “Pameran Toilet” dengan ilustrasi toilet disana. Gua bingung, kenapa di Museum Kantor pos ada Pameran Jamban?, gua tanya bayar berapa, dengan santai si bapak bilang 250 rebu.

Gua shock seketika, Masya allahh... 250rebu buat liatin tempat e*k orang?.

Demi menghindari ketauan gak punya duit dan ga ada tujuan, gua tanya si bapak, dimana tempat mereka jual hal-hal yang berhubungan dengan Postcrossing semacam kartu pos, perangko, ato mungkin laen-laennya.

Sejenak si bapak seperti mendengar bahasa asing yang keluar dari mulut gua. Seakan dia baru dengar kata-kata itu dari mulut gua. Gua ulangin lagi,

“Kartu pos pak?”. Dia masih terlihat bingung.

“Kartu pos, perangko, yang buat dikirim-kirim sama orang lain. Gua kebingungan menjelaskan. Dan bapak itu masih tak mengerti.

Gua mengelus dada. Entah apa yang terjadi sama bapak penjaga museum satu ini, yang membuat dia bahkan nggak tahu apa itu perangko dan kartu pos. Entahlah. Gua akhirnya menyerah dan permisi keluar dari hadapan si bapak sambil menahan tawa dan heran dalam hati.

Keluar dari sana, gua menatap bangunan besar yang tepat langsung berhadap-hadapan dengan museum Kantor Pos indonesia ini. Barulah gua ngeh, itulah yang dimaksud dengan museum Fatahillah. Itulah museum yang sering gua denger namanya di tipi-tipi dan koran Kompas *karena gw bacanya Cuma Kompas doang*. Dengan bahagia, gua berjalan riang ke arah sana. Tentu saja masih sendiri. Masuk ke bagian depan gua agak bingung, karena banyak orang disana, tapi tak ada tanda macam pintu masuk dan lainnya.

Akhirnya gua mendapat fakta menyakitkan bahwa ternyata itu museum uda tutup, jam 3, itu sebabnya pintunya nggak terbuka. Dengan hati sakit dan terluka gua Cuma menjawab “Oh” sama bapak ituh.

Pulang dari kota tua, gua merasa masih punya waktu. Gua berencana singgah dulu di Citraland. Ngapainkah?.

Tentu saja nongkrongin Graamedianya sambil bacain komik-komiknya sampe mas-mas dan mbak-mbak penjaganya jengkel. Hueheheh.

Nongkrong disana gua puasin kelaparan update manga series gua, mulai dari Detektif Conan, Black Butler, dan Pandora Heart, sayang yang laennya nggak gua temuin, kaya Perfect Girl Evolution (Yamato Nadeshiko Sichi Henge), Drops Of God (manga yang bikin gua ngiler sama wine*, Bambino 2, Happy Marriage, ato GTO, yang gua bingung uda gua ikutin sampe judul keberapa. Susahnya nemu sewaan komik di daerah tempat kerja gua, bener-bener bikin galau. Emang si jaman gini mah tinggal onlen dan baca di web-web free read manga online. Cuman gua bukan penyuka alternatif itu. Dalam hal membaca, mau itu manga atau novel, gua lebih konservatif, dan lebih menyukai barang aslinya yang bisa disentuh dan dibolak-balik, dan tentu aja ga dibatesin kuota internet.  

Akhirnya setelah menjelajah, pulanglah gua jam setengah 7 malem, dengan badan capek, ngantuk, dan perut laper, karena gua baru inget sedari pagi gua belum nyuap apa-apa, dan baru ketemu sepotong melon di abang tukang rujak. Seakan belum cukup kelelahan gua. Dalam angkot jurusan Rawa buaya, yang masih sepi, dan artinya masi ngetem, ada kejadian mengerikan yang nggak pernah gua bayangkan akan kejadian sama gua.

Di dalem angkot uda ada satu mas-mas *apa bapak-bapak? Bertopi, dan bawa kresek. Gua langsung duduk di spot favorit, deket pintu masuk. Ngelurusin kaki, dan ambil hp, esemesan sama adek laki gua. Tu mas-mas nanya sama gua, angkot oranye ini berakhir dimana? Sebagai orang baru, gua jawab aja gatau. Dia masih nanya lagi ternyata. “ Jamberapa mbak?”. Gua jawab jam setengah 7. Dia nyahut “Ohh, udah mau isya yah”. Demi kesopanan gua tersenyum mengiyakan. Lalu asyik kembali sama hp. Itu mas-mas ternyata masih nanya juga, 

Macem “Abis kerja mbak?”. “Kenapa Sendiri??”. “Tinggal dimana mbak?”. “Kerja dimana mbak?”. “Kerja dimana mbak?”. “Asli orang mana mbak?”. Beberapa pertanyaan di awal gua masih jawab dengan baik. Aslinya gua bukan orang pemilih, dan bersahabat sama siapa ajah. Cuma kadang gua terlalu naif,kalo kata temen gua, dan nggak bisa ngebedain mana yang berniat temenan, mana ang niat ngebego-begoin,dan enggak-enggak. Sebisa mungkin gua bersikap sopan sama tuh mas-mas, karena pertama, gua orang baru disana, kedua, gua enggan kebawa hal mengerikan gegara sikap nggak baik gua, dan ketiga dan yang paling utama. Gua takut. Tadinya gua mau cabut aje dari sono, tapi ngebayangin kalo ternyata tu orang ngkutin gua dan itu bakal lebih nyeremin, akhirnya gua masi diem aja disana, akhirnya angkot jalan. Gua uda sibuk dengan handphone gua. Yang nggak gua tahu adalah ternyata itu mas-mas masih belum menyerah. Dia mulai berani minta no hp gua. Gua menolak dengan menggelengkan kepala. Lalu berpura-pura asik lagi maenan hp. Ga berapa lama, itu orang geser posisi deket gua. Otomatis dong gua geser jauh dari dia. Dan masih. Dia minta nomer gua. Omaygat WTF WTH omaygoddraggggonnn!!. Dalam hati gw uda panik kepengen nangis, pengen jadi mumi aja kalo bisa. Ato jadi Wiro Sableng 212 aja biar gua bisa kampak itu orang. Gua mulai degdegan dan kepikiran untuk loncat dari angkot, kepikiran jangan jangan gua salah ngobrol sama orang, atau jangan-jangan gua udah bikin ini mas-mas salah paham? atau jangan-jangan gua memang lagi berhadapan dengan psikopat yang akan bawa gua ke hal mengerikan. Sumpah gua deg-degan setengah mati.

Gua pengen nangis juga nggak enak, salah bertingkah, dan khusnudzon sama orang, bisa-bisa berujung itu mas-mas dibakar massa. Gua bingung menghadapi orang ituh. Gua nolak lagi pas dia minta nomer hp gua. Orang-orang di angkot mulai nampak curiga liat muka gua yang kengerian.

Nggak lama, setelah rasa horror yang melebihi jurit malam, nongkrong di kuburan belanda bahkan pabrik Gula di Jawa Tengah, akhirnya itu mas-mas mengerikan turun dari angkot.

Alhamdulillahirrobbil alamiiiinn!!! 

Leganya nggak ketulungan. Lebih lega dari pas abis diomelin nasabah hard complain dan ngomelin gua sambil ngegoblok-goblokin gua, sambil ngancem gua bakal dituntut di pengadilan. Yang ini beneran terror jiwa.

Begitu itu orang turun, mbak-mbak di depan gua langsung nanya gua,
“Kenapa mbak”

Gua langsung cerita aja sama mereka, takutnya gua sama itu orang.

Mereka geleng-geleng kepala prihatin, dan mungkin nggak abis pikir sama gua. Dan berpesan bilang gua hati-hati. Gua ngangguk-ngaggukin kepala setuju. Dan nggak bisa ngomentarin apa-apa lagi, selain bersyukur dan membaca hamdallah sebanyak-banyaknya saking leganya melihat itu mas-mas nyeremin telah pergi.

*Pelajaran moral penting buat gua : jadi orang jangan terlalu naif*.

Well, then jadi itulah semacam kesimpulan dari sehari libur gw yang menyenangkan, dan lil creepy at the end. Lol