Rabu, 20 November 2013

# Peluk


Aku yakin kau pernah mengalami kejadian macam ini, ketika kau bergerak tanpa komando, semacam kedip mata, gerak denyut jantung, atau peristaltik lambung, mungkin simpelnya jika kutanyakan, pasti kau pernah menginjak atau menyentuh sesuatu yang tak kau suka kemudian secara mengejutkan tanpa disuruh bagian tubuhmu itu akan bergerak menjauh? Itulah refleks.
Istilah ini sudah cukup kuketahui dalam pelajaran sekolah. Namun kejadian ini masih tak kuketahui sebagai bagian dari refleks atau bukan, karena sebuah momentum tarikan yang menjadi sebuah pelukan tanpa ada tekanan sebelumnya dari manapun, selain mungkin hasrat itu sendiri terjadi, apakah ini juga dinamai refleks?.
Tak ada aba-aba dan peringatan, tanganku bergerak lebih cepat dari apa yang kupikirkan. mereka entah karena alasan apa sudah merengkuh dia. orang itu. membawanya ke dalam pelukanku, bersamaan dengan meningkatnya panas tubuh dan debar jantungku. Mukakku? Aku yakin sudah meleleh dan melepuh saking panasnya, tapi tak bisa kukendalikan rangka tubuhku ini untuk mundur, minta maaf, mengucap sesal dan menyesali tindakan mengejutkan ini.
Tak ada yang mau kuajak bekerja sama untuk menghentikan tragedi gila ini. Semua bersikap seenaknya. Debar jantung, aliran darah, panas tubuh, dan lengan-lenganku. Bahkan otakku sepertinya macet dan menolak untuk berpikir.
Hanya saja, bagian kecil dari diriku yang kini makin besar mendapatkan momen untuk tambah sesukaku  yang kini makin dalam menyuruk menuju dadanya yang hangat. Kupikir dia pasti sangat marah, atau mungkin semakin hilang respeknya terhadapku, namun alih-alih memikirkan hal buruk seperti diomeli atau diabaikan olehnya, aku hanya terdiam menikmati waktu yang terpaksa mengalir perlahan demi momen kami ini.
Dan aku sadar betul saat merasakan tangannya balas menyentuh pelan rambutku, untuk kemudian akhirnya menggunakkannya maksimal mendekapku ke arahnya. Kutahu ledakkan kembang api hari ini semakin besar dan menyilaukan. Aku merasa sedang mabuk, tapi ini menyenangkan. 
Tuhan...!.
Wangi tubuhnya membuat debar jantungku makin tak beraturan, membuatku sedikit sesak layaknya orang asma. Bedanya ini adalah kesesakkan yang membuat nyaman. Baru kutahu sekarang mengapa banyak orang dalam adegan film romantis atau sedih selalu menambahkan adegan pelukan di dalamnya. ternyata efeknya bisa seperti ini, rasanya tepat berada dalam jangkauan terdekatnya, mengetahui ia pun menerimaku, dan mendengarkan degup jantungnya dari dekat. Yang kini sama kencangnya seperti milikku. Untuk beberapa pertanyaan yang memenuhi kepalaku mengenai dirinya masih saja sulit kudapatkan jawabannya, namun satu hal ini menjadi amat pasti setelah sekian lama menghabiskan waktu tanpa bersinggungan dengan dia, ataupun kabar darinya.

Aku tak sanggup berada jauh dari jangkauannya.

Minggu, 17 November 2013

Why Do We Need A School?




Masih  nyambung sama posting sebelumnya. Beberapa waktu yang lalu, saat pulang ke rumah, gua terlibat obrolan aneh *as always* sama adek laki gua. Waktu itu dia cerita soal dirinya pas masih jaman SMA. Kerjaan dia yang “seneng” ngetes guru-gurunya, dia yang sekolah seenaknya. Di obrolan itu, dia cerita suatu waktu dia ketemu sama guru BP-nya di warung makan. Setelah basa-basi ngobrol ngalor ngidul, dia kemudian ditanya begini

Pak Guru : “Kamu ini sebenernya maunya apa?”.

Adek Gua : “Saya mah ngga kepengen apa-apa koq pak, Cuma tujuan sekolah saya kan memang Ijazah doang, jadi yang penting saya lulus, dapet ijazah. Selesai.”.

Gua ternganga denger cerita dia, bukan karena adek gua segitu beraninya ngomong sama gurunya *adek gua emang punya urat songong lebih kenceng dibanding gua* yang bikin gua shock adalah gua nggak nyangka kalo adek gua punya pikiran segitu doang soal sekolah.

Gua selama ini jarang berpikir soal ini; sekolah, tujuan akhir, apa yang gua mau, apa hubungan sekolah dengan tujuan hidup gua, dan sebagainya. Selama ini gua berpikir bahwa sekolah adalah bagian dari perjalanan hidup yang perlu gua jalani. No need to ask why. Karena sudah begitu harusnya. Yang paling banter dipikir adalah “Gua abis ini mau lanjut kemana ya?”. Nggak pernah berpikiran “Abis ini gua lanjut sekolah apa enggak ya?”. Gua pikir itu pertanyaan aneh. Yang namanya hidup itu, anak-anak, sekolah, lulus, kerja, dan jadi orang tua. Untuk bisa sampe fase kerja, kita perlu sekolah. Yeahh... sedikit banyak gua punya konsep kalo sekolah menjadi jaminan kita bakal dapet kerja.

Tapi kemudian demi mendengar kalimat adek gua, mau gak mau gua jadi mikir juga. Adek gua, yang jalan pikirannya entah bagaimana, dan nggak pernah bisa gua prediksi, juga jarang-jarang bisa gua mengerti bikin gua terhenyak.

Selama ini gua sekolah SD, SMP, SMA, even Kuliah, Cuma buat dapetin sebuah lembaran bernama ijazah, yang akan menjamin kita kerja lebih mapan dibanding lulusan dengan grade lebih rendah, apalagi yang nggak sekolah sama sekali. Baru kali ini gua berpikir, kalo gua selama ini secara nggak sadar meyakini, orang nggak akan bisa survive dan nggak akan bisa apapun kalo nggak sekolah.

Sebuah pola berpikir yang ternyata salah.

Kemudian, saat memperhatikan satu persatu orang di sekitar gua, seumpama, temen gua yang lulus SMA kemudian ngelamar kerja di pabrik, gua mau nggak mau gemes juga; buat apa kita sekolah 3 taun lamanya, belajar matik, ngapalin sejarah, ngapalin segala macem definisi dan teori di sosiologi, jungkir balik ngebongkar rumus fisika, diberdiriin di depan kelas gara-gara ga ngerjain peer matematika (ini si emang jelas salah). Terus pada akhirnya kerjanya nongkrong di toko, paling banter kerja mejetin kalkulator sama nulis nota?. Apa kerja begitu pake rumus fisika?.

Kenapa kita nggak masuk sekolah yang tagnya adalah “Bagaimana menjadi pegawai toko yang baik”, atau “101 langkah menjadi sales yang sukses menarik konsumen”. Dan silabus yang disusun disana berhubungan dengan tujuan akhir siswanya, mereka nggak perlu njelimet ngurusin harus beli buku paket Kimia yang tebel banget, dan nggak perlu kerepotan bikin gambar peta buat pelajaran Geografi.

Kalo memang purposenya adalah ijazah, yang menjamin seorang anak akan lebih bertanggung jawab dan meyakinkan dalam kerjanya.

Tujuan awal seseorang juga akan mempengaruhi proses dan akhir dari perjalanan hidupnya sendiri. Memang yang bertujuan awal kuliah di jurusan kimia dan menjadi profesor di bidang kimia, tak akan bermasalah dengan pelajaran atom-atom itu. Yang punya passion di Ekonomi, dan ingin menjadi Ekonom sekelas Sri Mulyani dan bercita-cita jadi presiden World Bank nggak keberatan sama pelajaran ekonomi dan kawan-kawannya.

Cuma kalo anak yang tujuan awal sekolahnya aja udah kaya adek gua?? Yang penting gua punya ijazah. Tring...! selese. Ya paling ujung-ujungnya kaya adek gua. Sekolah kalo lagi mood, di kelas sering bikin guru senewen karena ga bikin peer, dan masuk pelajaran pilih-pilih.

Mungkin ada yang perlu diperbaiki dalam sistem sekolah kita, atau ada yang harus diluruskan lagi dalam pikiran mereka yang ingin lanjut sekolah, dan para orang tua, yang mungkin saja punya pikiran yang kurang lebih sama kaya adek gua. Dan bagi gua, bener-atau tidak, adek gua merupakan representasi pikiran dari banyak anak di muka bumi indonesia ini. Entah siapapun yang memulai konsep berpikir macam begini, tapi bagi gua, selalu ada penyebab kenapa orang-orang pada umumnya jadi punya pikiran macam begini. 

Mengutip kata-kata penulis favorit gua Andrea Hirata, bahwa “Sekolah tidak mengajarkan kita apa-apa yang harus dipikirkan, sekolah mengajarkan kita cara berpikir”.

Bahwa sekolah bukan camp militer yang penuh rules, dimana yang ranking 1 selalu jadi nomer 1, dan yang bermasalah selalu jadi yang dipersalahkan. Kalau sekolah idealnya mengajarkan cara kita berpikir, kemudian faktanya banyak anak berpikir kurang lebih sama untuk hidupnya, buat gua, ada yang salah didalamnya. Jangan jangan kalimat Andrea Hirata ini di indonesia sudah terbalik menjadi

“Sekolah tidak mengajarkan kita cara berpikir, Sekolah mengajarkan kita, apa-apa yang perlu dipikirkan”.

Tragic.




Purpose and Passion






http://www.google.com/imgres?client=firefox-a&sa=X&rls=org.mozilla:id:official&channel=fflb&tbm=isch&tbnid=fPY_pviIlu0sNM:&imgrefurl=http://dailyinspired.net/%3Fq%3Dquote-collection/collection-inspirational-passion-quotations-sayings&docid=kBOZisuZzpwNnM&imgurl=http://dailyinspired.net/sites/default/files/styles/680x383/public/passion-quotes-dailyinspired-quote-collection.jpg%253Fitok%253DyXiv2WFy&w=680&h=383&ei=A32IUqewF5GzrAfjlYCgBw&zoom=1&ved=1t:3588,r:64,s:0,i:279&iact=rc&page=3&tbnh=168&tbnw=299&start=42&ndsp=23&tx=205&ty=66&biw=1366&bih=684




Selamat siang sodara-sodara setanah air, balik lagi sama gua, manusia yang telah menjadi pengangguran intelek (cailah...) selama hampir 3 bulan *hell yeahh...!!*.

Dont ever ask me why. Karena gua juga ga ngerti kenapa. Yang jelas setiap kali berhadapan dengan test psikotes, gua udah pasti ga bakal lolos. Gua emang kaga bakat sama ujian-ujian dan tes macem begitu, di test tertulis sebelumnya gua bahkan Cuma bisa ternganga saat liat soal yang notabene adalah soal logika matematika dan disajikan dalam bahasa inggris. Jujur kalo boleh gua pengen nangis saat itu juga! Tuhaaann...
Berhubung tema kali ini adalah masalah kerja dan tetek bengeknya, gua jadi kepikiran beberapa hubungan sebab-akibat dan korelasi antara pendidikan sama target kerja nanti. Eniwey, as you know setelah liat nama Blog gua aja, semua orang bakal ngerti kalo gua adalah mahasiswi fapet a.k.a Fakultas Peternakan, Cuma setelah lulus, teuteup aja apply kerja mah pada menceng-menceng, ada yang niat jadi PNS (masi nyambung), banyak yang jadi pegawai bank, bahkan ada yang kerja di perusahaan trading (trading aja gua kaga ngerti apa artinya -__-).

Sebenernya kadang gua juga suka bingung kalo udah begini, ya bingung sama idup, terlebih bingung sama diri sendiri. Istilahnya ya, empat taun kuliah di peternakan, bikin laporan tulis tangan sampe keriting-keriting tulisannya, praktikum tengah malem, sampe dini hari bersihin kandang sapi sama mandiin sapi, kuliah ngapalin jenis-jenis sapi, jenis ayam petelur, pedaging, tipe ini-itu, ngotak ngatik susunan pakan buat ngeransum ayam ato itik, dan seterusnya sampe mumet bolak balik ngusahain biar ternak materi penelitiannya tetep sehat walafiat sampe penelitian selese, setelah semua itu, ujung-ujungnya, kerja disuruh jualan produk perkreditan bank. Cape-cape dapet IPK 3,9 ujung-ujungnya ngelamar kerja dengan IPK minimum 2,75... aisshhh!!.
But, it always depend on ourself. Gua emang niat ga niat kuliah di sini, masuk, jalani, lulus. Udah. Mungkin beda sama temen gua yang basicly memang niat kuliah di Peternakan, yang begitu lulus maunya kerja di bidang yang masih berhubungan dengan peternakan, dan menjadikan lowongan kerja di bidang lain yang mayoritas diisi sama kawan-kawannya semacam bank dijadikannya sebagai pilihan terakhir. Kawan gua ini sebegitu pengennya kerja di bidang Quality Control. Finn, dia keterima di perusahaan kemitraan, katanya dia jadi QC disitu, dengan salary yang bagi gua jauh banget dari kawan-kawan yang keterima di bank-bank, but dia sendiri memang mengakui itu, dan nggak mempermasalahkannya. Cuz she love it, so she decided to accept it.

It’s always back to your purpose. Kalo tujuan nyari uang, kerja dimana aja jadi apa aja, dan ngapain aja terserah. Yang penting i’ve got right salary. Beda sama yang nyari kerja yang ideal dengan jurusan kuliahnya, sebesar ato sekecil apapun salarynya, itu akan jadi pertimbangan nomer sekian.
Gua, yang kuliah aja ga tau tujuannya apa *and am still confused with purpose of my life *. Jaman beberapa bulan lalu gua sempet ikut seminarnya Andy F. Noya di Graha Unsoed tentang Lentera Jiwa. Bahwa kalo kita hidup Cuma ngikut arus, kita ngga bakal tau apa yang terjadi ke depan, tenggelam ato ditelan buaya, siapa yang tahu?. Sedang hidup, dan berpegang dengan lentera jiwa kita, even nyalanya hanya secercah cahaya lilin, dan kita hanya bisa melihat sekeliling Cuma dengan cahaya itu, kalo cahayanya terus kita pelihara, sedikit demi sedikit kita akan sampe ke tujuan kita.

Hahaha.! Gua aja kaga tau gua mau ngapain, terus mau apa coba? Kalo orang tua gua presiden direktur, ato emak gua pengacara terkenal, mungkin gua akan pilih pegangan sama lentera jiwa kita, yang kata salah satu pengisi acara, salah satu bentuknya adalah passion kita. Kalo bener kaya gitu, gua bakal ngotot sama ortu mau jadi penulis atau animator (yang sekolahnya ajigile mahalnya). Sekarang gua mah jadi realis (minjem istilah temen). Gua liat keadaan, apa yang diperlukan itu yang gua kejar. Nggak berarti kita lupa passion kita. Hanya kita sedikit memutar. Kata temen laki gua, kalo lu ga bisa pergi ke yogyakarta lewat purwokerto, nggak berarti selamanya lu ngga akan bisa ke yogyakarta. Lu bisa lewat jalur utara, muter dulu ke tegal, kan nggak masalah. Yang penting lu tau, tujuan akhir elu adalah yogyakarta. Bahkan kalo misal jalur darat nggak bisa, lu boleh ke jakarta dulu, naik pesawat terbang dulu. Atau gimana pun caranya. Mungkin uang yang kepake lebih banyak, atau mungkin waktu yang digunakan untuk mencapai yogyakarta lebih lama, mungkin kita bakal jet lag, ato bus lag. Tapi at least, kita jelas akan mencapai yogyakarta. Asal kita naik bis dengan jurusan akhir yogyakarta.

Nggak apa-apa jadi tukang becak sekarang, yang jelas, tujuan akhir gua adalah jadi penulis sejajar sama Dewi Lestari.
Fin.





http://www.google.com/imgres?client=firefox-a&sa=X&rls=org.mozilla:id:official&channel=fflb&tbm=isch&tbnid=LuLcP_GEC5kJwM:&imgrefurl=http://www.lorensworld.com/life-work/turn-your-passion-into-purpose/&docid=CdN5XzcsFd1TfM&imgurl=http://www.lorensworld.com/wp-content/uploads/2012/10/purpose_quotes.jpg&w=554&h=379&ei=A32IUqewF5GzrAfjlYCgBw&zoom=1&ved=1t:3588,r:10,s:0,i:108&iact=rc&page=1&tbnh=179&tbnw=262&start=0&ndsp=18&tx=163&ty=106&biw=1366&bih=684

Senin, 11 November 2013

Brain Freezing




Dalam hidup ini, kadang mucul fase dimana kita nggak tahu apa-apa. Even sampai bertanya dalam hati siapakah kita ini, dan untuk apakan kita hidup. Namun di satu sisi kepala sudah tak mampu berpikir dan menganalisa lebih jauh kemungkinan-kemungkinan di depan. Rasanya seperti keleahan menyerang dari banyak arah dan entah bagaimana menghadapinya.

Pernahkah kamu, siapapun itu, bertanya-tanya, saat sedang berdiam, menunggu bis di halte, menanti angkot melintas, atau berdiri di tengah lalu lalang manusia, kemudian menyaksikan adegan kehidupan di depan mata yang terjadi, dan semua mendadak nampak berbeda begitu saja. Orang yang berlarian mengejar bis kota, ibu-ibu melintas menggunakan motor matic membawa belanjaan yang bahkan menutupi tubuhnya sendiri. Sepasang pemuda-pemudi tengah berpegangan tangan, lelakinya menggunakan ransel  lusuh, berdua duduk di pembatas jalan, menunggu kendaraan melintas. Kendaraan berseliweran dengan berbagai orang yang mengendarainya, bermacam pikiran, dan beban di dalamnya. supir bus yang tak hentinya merokok. Mungkin istrinya sakit asma di rumah, atau mungkin ia sudah bercerai dan memiliki anak yang kini tengah mendaftar kuliah di ITB, atau jangan-jangan dia bahkan meninggalkan istri dan anaknya begitu saja?. Pengamen anak yang baru saja menyelesaikan lagu “Butiran Debu-nya” dengan suara cempreng-hampir habis, berkaus kumal. Siapakah ibunya? Jangan-jangan kami masih bersaudara jauh? Dimana ia tinggal? Bagaimana ia mendapatkan makannya hari ini, dan bagaimana ia hidup selama ini?. Apa yang harus kulakukan untuk mereka?.

Demi berpikir satu persatu probabilitas kejadian kehidupan, bahwa mungkin saja salah satu dari mereka adalah penyihir Hogwarts, atau bapak-bapak kondektur itu adalah Demigod keturunan Zeus, bisa saja tante-tante berambut sebahu yang memakai sepatu high heels dan tas Hermes itu dulunya pernah tenggelam dalam sumur seharian dan hampir mati dan sekarang menderita klaustrophobia?. Untuk kemungkinan-kemungkinan itu dan kemungkinan lain yang harusnya aku usahakan dan kulakukkan untuk mereka seringkali membuat kepalaku sakit dan kebingungan menentukan kemanakah kelak akan aku tentukan hidup ini?.

Kupikir Cuma aku saja yang mengalami “Brain-Freezing” ini. Saat dimana otak mengalami kemacetan akut ketika diajak berpikir menentukan pilihan masa depan. Ternyata adik lelakikku pun sama. Kami sama-sama kesulitan berpikir dan selalu kebingungan dengan keinginan dalam hidup. Entah barikade apa yang memblok pikiran kami ini, dan sepertinya itu sudah ada sejak lama. Membikin otak kami tak berfungsi maksimal.

Saat melihat orang lain. Yang cantik, tampan, berambut hitam lebat, tak berambut, hitam, albino, kurus kering, kelebihan berat badan, buruk rupa, tak berjari, kelebihan jari, jelek, atau jelek sekali, aku tahu masing-masing kami ini diberikan porsi kesakitan masing-masing. Ada yang level 1, level 2, atau mungkin level 10. Aku tak pernah tahu hidup yang kujalani ini ada di level berapa, aku hanya cukup tahu kalau tuhan pasti tak akan memberikan cobaan dan kesakitan yang melebihi kemampuan diriku sendiri. Pernah kubicarakan mengenai hal ini di posting sebelumnya.

Bukan lupa. Tapi memang aku sering tak sadar kalau aku ini manusia, bukan robot yang no expression. Aku memang manusia less expression. But it doesnt mean i dont have feeling and any heart to feel something. Am just prefer to not expressed it out. Just keep it in myself doesnt mean that we are okay. But it is better to act like that, act to be like this, cuz we have to be like this. Bukan berarti kami angkuh atau gengsi untuk menangis dan meminta tolong. Tapi keadaan yang kami alami saat ini memaksa kami untuk nampak lebih kuat dibanding orang pada umumnya. Untuk tetap menunjukkan kalau kami baik-baik saja. Tak inginkah kami mengangis? Tentu saja!! Ingin berteriak malah kalau bisa. Kadang di dalam sini terlalu sesak untuk diisi lagi, hanya saja kami sudah terlalu terbiasa berdiam dan akhirnya tak tahu harus bagaimana.