Kompas 22 Maret 2010
Presiden yudhoyono berniat membagikan bola kepada masyarakat,sekaligus mengngatkan perlunya ada lapangan sepakbola di tingkat kelurahan.
Ini baik dan benar adanya,tetapiu persoalan bola -sedemikian hebatnya dominasi kata bola seakan hanya berarti sepak bola,sedangkan untuk cabang lain harus lengkap,bola voli misalnya- bukan hanya masalah si kulit bundar yang selalu dikejar dan diperebutkan.dan juga bukan masalah tempat.
Bola adalah permainan merakyat seperti musik dangdut.ibarat kata,beri mereka ruang seluas ubin,mereka bisa main.
Bundar dan Segiempat
Bola memang bundar untuk menggambarkan segala kemungkinan bisa terjadi.Juga stadion dibuat bundar.Namun lapangan permainan tetap segiempat diberi garis tegas sebatas pembatas,gawang juga segiempat.Dengan kata lain,apapun kemungkinan yang terciptakan ada tatakrama yang harus dipatuhi bersama.Iu sebabnya ada garis lagi untuk kotak penalti,dengan titik putih diberi tanda.
Itu sebabnya penjaga gawang boleh memilih kostum yang beda warna dan berlengan panjang agar kalau memegang bola tidak dianggap handball, hal sial yang berlaku pada pemain. Tata krama bukan hanya untuk pemain, melainkan penonton pun harus patuh—itu sebabnya ada tiket, ada etiket, ada tanda di bagian mana mereka berada.
Kalau kesepakatan bersama ini dikhianati, keributan durhaka yang terjadi. Ini sudah terjadi sejak para penonton, para penggemar, dan para fans berat berangkat ke tempat pertandingan dengan melanggar aturan lalu lintas dan sopan santun di jalanan. Susah menemukan rombongan penonton yang tidak mengganggu—selain menimbulkan kemacetan juga memaksa naik kendaraan yang tak ada hubungannya dengan itu. Dengan pembiaran dan atau malah pembenaran semacam ini, legitimasi berbuat salah menjadi kaprah, menjadi lazim.
Fenomena ini menggejala pada apa yang disebut bonek (bondo nekat, modal nekat). Penggemar berat—kadang berarti berat sebelah, dari Persebaya—menjadi idiom yang seram, mengancam, penuh dendam. Bukan hanya kepada kesebelasan lain atau suporter lain—yang harus memberi support—melainkan kepada siapa saja, termasuk pedagang asongan atau alat transportasi atau apa saja, siapa saja yang dilalui. Celaka atau bencana besar yang terjadi adalah terjadi peniruan pada gerombolan kesebelasan lain.
Perilaku boneker, para bonekmania, juga berlangsung pada kesebelasan tetangga. Mereka yang tadinya menyatu dalam ”The Jakmania”—untuk Jakarta, bisa tawuran ngeri ketika kesebelasan itu dimekarkan menjadi Tangerang atau bahkan wilayah Jakarta Utara. Mereka yang tadinya satu wadah, satu identitas menjadi berubah memusuhi sampai berdarah-darah atau mengumbar amarah. Tak beda jauh dengan kader partai politik yang pindah partai. Kerawanan ini sangat dimungkinkan karena pragmatisme dan kekerdilan yang dimiliki sebelumnya. Sehingga yang tersisa adalah membuat kerusuhan, tak penting kesebelasannya menang, kalah, atau seri. Mereka ini tak ubahnya kelompok abal-abal, kasta terendah para kriminalis, yang susah dipahami motivasinya selain hasilnya selalu keributan yang menjengkelkan.
Namun, sesungguhnya tak terlalu sulit mengendalikan mereka ini. Justru karena ikatan kekerabatan di dalam tidak kuat, kepentingan ekonomi tidak dominan, dan akses akan fasilitas terbatas, pendisiplinan bisa dimulai dari sejak kedatangan mereka ke medan pertandingan.
Modal sosial dan modal sial
Ini berbeda, misalnya, dengan istilah pengurusmania, yang ingin jadi pengurus terus. Mereka yang duduk dalam kepengurusan PSSI, misalnya, memiliki alasan yang tak dimiliki bonekmania. Di sini lebih ruwet dan meruwetkan diri karena urusannya gengsi dan gaji, urusannya bukan soal tiket penonton, melainkan sponsor gede dan atau proyek membangun stadion baru atau memperbarui stadion lama.
Sampai di sini urusannya berbeda, dan tidak sama pula penyelesaiannya. Padahal, bukan tidak mungkin, akar masalahnya pada pengurusmania yang menjadi sumber ketidakterkendalian suasana yang tecermin jelas dalam pencapaian prestasi yang mencapai titik nadir, dan atau keliaran penyelenggaraan pertandingan. Sehingga modal sosial yang demikian kental untuk kegagahan dan kebanggaan menjadi modal sialan karena memalukan dan mengembangkan permusuhan.
Alangkah jauh kisah heroik ketika PSSI yang pada Olimpiade Australia tahun 1950-an mampu menahan imbang Uni Soviet yang akhirnya menjadi juara dunia. Alangkah rapuh ingatan kita ketika bahkan berani menolak bertanding karena tidak diperkenankan memakai paspor Indonesia—karena waktu itu masih dalam jajahan Belanda. Atau kisah lain ketika para pemain lokal di Solo memanfaatkan stadion Sriwedari—stadion pertama yang memakai lampu penerangan sehingga pertandingan bisa berlangsung pada malam hari—yang hanya bisa dipakai oleh kompeni.
Atau kisah mengagumkan bagaimana berdirinya organisasi bola—yang jauh lebih tua daripada usia Republik ini—dengan mengubur ikatan primordial, kedaerahan yang tumbuh subur dan lebih dulu ada. Bagaimana pencarian bakat-bakat muda sampai ke pelosok Tanah Air dilakukan dengan tulus—dan bukan orientasi fulus semata.
Semua kisah indah, gagah, dan menggugah sudah punah. Sudah berubah dengan huru-hara, keributan, dan ketidakamanan, ketidaknyamanan. Dan menemukan bahwa boneker, para bonekmania, adalah kambing hitam tunggal yang harus dikutuk. Padahal, pada awalnya, boneker itu lumayan membanggakan, lumayan tertib, lumayan jelas kehadiran dan keberadaan sponsor yang melihat potensi. Ini sangat memprihatinkan manakala komunitas seperti ”Pasopati”—yang sempat menarik perhatian dunia karena mampu menggalang penonton dengan santun—akhirnya juga terseret ke tawuran justru saat pertandingan harusnya tanpa penonton.
Kalau ada travel warning pada pertandingan olahraga, barang kali sepak bola menempati urutan pertama. Kalau ada memalukan dalam berprestasi, sepak bola juga menduduki peringkat atas. Sebaliknya kalau ada bola yang paling dicintai, paling dikomentari, paling bisa dijadikan judi adalah bola sepak itu juga.
Bonekmania sebenarnya cerminan nyata kecintaan dan perhatian dari masyarakat yang demikian besar hasratnya. Bulu tangkis yang mengangkat nama besar negeri ini tak melahirkan itu. Atau juga, misalnya, panahan yang sepi penonton walau berprestasi, atau cabang olahraga yang lain.
Dan menyia-nyiakan kecintaan dan kepercayaan adalah dosa.
Itu sebabnya penjaga gawang boleh memilih kostum yang beda warna dan berlengan panjang agar kalau memegang bola tidak dianggap handball, hal sial yang berlaku pada pemain. Tata krama bukan hanya untuk pemain, melainkan penonton pun harus patuh—itu sebabnya ada tiket, ada etiket, ada tanda di bagian mana mereka berada.
Kalau kesepakatan bersama ini dikhianati, keributan durhaka yang terjadi. Ini sudah terjadi sejak para penonton, para penggemar, dan para fans berat berangkat ke tempat pertandingan dengan melanggar aturan lalu lintas dan sopan santun di jalanan. Susah menemukan rombongan penonton yang tidak mengganggu—selain menimbulkan kemacetan juga memaksa naik kendaraan yang tak ada hubungannya dengan itu. Dengan pembiaran dan atau malah pembenaran semacam ini, legitimasi berbuat salah menjadi kaprah, menjadi lazim.
Fenomena ini menggejala pada apa yang disebut bonek (bondo nekat, modal nekat). Penggemar berat—kadang berarti berat sebelah, dari Persebaya—menjadi idiom yang seram, mengancam, penuh dendam. Bukan hanya kepada kesebelasan lain atau suporter lain—yang harus memberi support—melainkan kepada siapa saja, termasuk pedagang asongan atau alat transportasi atau apa saja, siapa saja yang dilalui. Celaka atau bencana besar yang terjadi adalah terjadi peniruan pada gerombolan kesebelasan lain.
Perilaku boneker, para bonekmania, juga berlangsung pada kesebelasan tetangga. Mereka yang tadinya menyatu dalam ”The Jakmania”—untuk Jakarta, bisa tawuran ngeri ketika kesebelasan itu dimekarkan menjadi Tangerang atau bahkan wilayah Jakarta Utara. Mereka yang tadinya satu wadah, satu identitas menjadi berubah memusuhi sampai berdarah-darah atau mengumbar amarah. Tak beda jauh dengan kader partai politik yang pindah partai. Kerawanan ini sangat dimungkinkan karena pragmatisme dan kekerdilan yang dimiliki sebelumnya. Sehingga yang tersisa adalah membuat kerusuhan, tak penting kesebelasannya menang, kalah, atau seri. Mereka ini tak ubahnya kelompok abal-abal, kasta terendah para kriminalis, yang susah dipahami motivasinya selain hasilnya selalu keributan yang menjengkelkan.
Namun, sesungguhnya tak terlalu sulit mengendalikan mereka ini. Justru karena ikatan kekerabatan di dalam tidak kuat, kepentingan ekonomi tidak dominan, dan akses akan fasilitas terbatas, pendisiplinan bisa dimulai dari sejak kedatangan mereka ke medan pertandingan.
Modal sosial dan modal sial
Ini berbeda, misalnya, dengan istilah pengurusmania, yang ingin jadi pengurus terus. Mereka yang duduk dalam kepengurusan PSSI, misalnya, memiliki alasan yang tak dimiliki bonekmania. Di sini lebih ruwet dan meruwetkan diri karena urusannya gengsi dan gaji, urusannya bukan soal tiket penonton, melainkan sponsor gede dan atau proyek membangun stadion baru atau memperbarui stadion lama.
Sampai di sini urusannya berbeda, dan tidak sama pula penyelesaiannya. Padahal, bukan tidak mungkin, akar masalahnya pada pengurusmania yang menjadi sumber ketidakterkendalian suasana yang tecermin jelas dalam pencapaian prestasi yang mencapai titik nadir, dan atau keliaran penyelenggaraan pertandingan. Sehingga modal sosial yang demikian kental untuk kegagahan dan kebanggaan menjadi modal sialan karena memalukan dan mengembangkan permusuhan.
Alangkah jauh kisah heroik ketika PSSI yang pada Olimpiade Australia tahun 1950-an mampu menahan imbang Uni Soviet yang akhirnya menjadi juara dunia. Alangkah rapuh ingatan kita ketika bahkan berani menolak bertanding karena tidak diperkenankan memakai paspor Indonesia—karena waktu itu masih dalam jajahan Belanda. Atau kisah lain ketika para pemain lokal di Solo memanfaatkan stadion Sriwedari—stadion pertama yang memakai lampu penerangan sehingga pertandingan bisa berlangsung pada malam hari—yang hanya bisa dipakai oleh kompeni.
Atau kisah mengagumkan bagaimana berdirinya organisasi bola—yang jauh lebih tua daripada usia Republik ini—dengan mengubur ikatan primordial, kedaerahan yang tumbuh subur dan lebih dulu ada. Bagaimana pencarian bakat-bakat muda sampai ke pelosok Tanah Air dilakukan dengan tulus—dan bukan orientasi fulus semata.
Semua kisah indah, gagah, dan menggugah sudah punah. Sudah berubah dengan huru-hara, keributan, dan ketidakamanan, ketidaknyamanan. Dan menemukan bahwa boneker, para bonekmania, adalah kambing hitam tunggal yang harus dikutuk. Padahal, pada awalnya, boneker itu lumayan membanggakan, lumayan tertib, lumayan jelas kehadiran dan keberadaan sponsor yang melihat potensi. Ini sangat memprihatinkan manakala komunitas seperti ”Pasopati”—yang sempat menarik perhatian dunia karena mampu menggalang penonton dengan santun—akhirnya juga terseret ke tawuran justru saat pertandingan harusnya tanpa penonton.
Kalau ada travel warning pada pertandingan olahraga, barang kali sepak bola menempati urutan pertama. Kalau ada memalukan dalam berprestasi, sepak bola juga menduduki peringkat atas. Sebaliknya kalau ada bola yang paling dicintai, paling dikomentari, paling bisa dijadikan judi adalah bola sepak itu juga.
Bonekmania sebenarnya cerminan nyata kecintaan dan perhatian dari masyarakat yang demikian besar hasratnya. Bulu tangkis yang mengangkat nama besar negeri ini tak melahirkan itu. Atau juga, misalnya, panahan yang sepi penonton walau berprestasi, atau cabang olahraga yang lain.
Dan menyia-nyiakan kecintaan dan kepercayaan adalah dosa.
0 komentar:
Posting Komentar
leave your footprint here ;)