“hey...”,
aku menepuk pipinya perlahan, dia sedikit bergerak dari posisi bersendernya.
Aku
mengulang tepukanku pada pipinya saat melihat kabut di sepanjang jalan yang
semakin tebal, menandakan perjalanan kami hampir sampai.
Dia akhirnya
terjaga, menggosok matanya dan menguap pelan. Aku menatapnya dalam-dalam. Wajah
yang selalu kurindu itu. Padahal sepanjang perjalanan ia selalu di sampingku,
dan tak pernah beranjak dari situ, tapi selalu kurindu saja entah kenapa, Ah!
Aku menggosok mataku yang mendadak ikut berkabut hampir meneteskan air mata.
“kita hampir
sampai”. Kataku pelan. Ia mengangguk sambil menyalakan rokok mild yang baru
saja diambil dari saku jaketnya.
sopir mobil
yang kusewa untuk perjalanan ini berhenti. “Mbak, ini sudah sampai”. Aku
mengangguk, iya pak, kita turun disini,bapak tunggu disini ya?”. Bapak tua
berambut penuh uban itu mengangguk, aku mengajak dia turun sambil menaikkan
hoodie untuk menutupi kepalaku.
Hawa dingin
sekaligus menyeruak saat aku membuka pintu mobil, butiran-butiran embun
menempel di dedaunan, kabut tak setebal tadi, namun udara tetap saja masih
menggigit kulit, aku menengok ke arahnya dan menariknya ke arahku,
“Ini dieng”.
Gumamku pelan padanya, ia mengangguk takzim, tapi aku tahu matanya membayang entah
kemana.
Ia nampak kelelahan,
kasihan. Hari kemarin ia mengarungi perjalanan panjang dari rumah hingga kosku
di purwokerto, kemudian subuh tadi aku membangunkannya karena jemputan sudah
datang. Aku ingin dia istirahat lebih lama lagi, namun kami tahu waktu kami
sangat sedikit. Jadi dengan terpaksa kubangunkan dia dari tidur pulasnya.
Sepanjang
jalan kami tak banyak bercerita, dia memang seperti itu, pendiam. Baru
belakangan kutahu kenapa sebabnya ia tak banyak bicara. Sesungguhnya aku rindu
kami berbincang seperti dulu, tapi aku tahu tak semudah itu semua akan kembali
seperti biasanya karena luka yang ditanggungnya amat besar, dan aku tahu dia
rapuh.
.
Amat rapuh.
0 komentar:
Posting Komentar
leave your footprint here ;)