Trust me.
Jadi sarjana itu nggak seindah yang anda
bayangkan. Ya, lega sih, udah nggak ada tugas, quiz dadakan, praktikum
segambreng, nongkrong di leb sampe malem, atau bangun kesiangan dan berangkat
kekampus grasa-grusu gapake mandi gara-gara telat.
Sekarang kondisi sudah terbalik men!. Tidur seenak
jidat, bangunnya apalagi. Jangan pikir karena guwe ini cewe jadi idup guwe
disiplin atau teratur, bahkan temen laki guwe aja sering ngomel gara-gara gaya
idup guwe yang semrawut, *ay know ay know...*.
Jelasnya sih enaknya udah lulus itu pastinya
adalah udah nggak ada beban buat bayar uang SPP dan urunan-urunan laennya. Jadi
rasanya udah lepas beban deh. I am freeeeee *APA IYA???*.
As i said you first, jadi sarjana itu nggak
seindah yang dibayangkan. Indah kalo terjadi Cuma seminggu kali yah? Karena apa
sebabnya?.
Menurut pengalaman guwe sendiri memasuki
tahap minggu kedua, pikiran rasanya mengerdil, otak nggak dipake buat mikir,
menganalisa, menemui hal baru, atau bersitegang dengan soal-soal. Semua sekarang
berpokus Cuma ke satu hal : nyari kerjaan. God damn! Ternyata kegiatan ini
lebih menyiksa ketimbang berjuang menghadapi revisian. Setiap bangun galau,
setiap menjelang tengah malem tambah setress dan kepikiran, akhirnya ga bisa
tidur dan baru mengantuk pas adzan subuh. Waaakkk!! Could you imagine that
kinda life? Geezzz...
Oh iya, i almost skipped these one; hal yang menyenangkan dari menjadi sarjana
adalah itu menjadi penanda kita sudah terbebas dari beban skripsi dan
pendadaran, oh my sweetness goddess, guwe rasa itu adalah madunya lulus
dari kampus. Berasa pecah telor selusin dahh!.
And then, when we back again. C’mon, sadar
atau tidak, mereka yang sudah ditetapkan lulus dan menjadi sarjana melepaskan
beban kuliah dengan lega untuk memakai beban yang baru : The real life, the
real battle, the real jungle. Yap, jungle. Karena disini kita akan belajar
langsung pada pengalaman, nggak ada dosen, dan nggak ada asisten, di jungle ini
kita nggak akan bisa ngelaba kalo kita lagi salah, nggak kaya dulu pas masih
jadi mahasiswa masih punya alibi “Kita kan masih belajar, jadi wajar aja kalo
salah”. Now? Nggak bisa kaya gitu. Salah? Hukum pancung!!!. Ya ngga gitu juga
sih, salah ya berarti kita nanggung risk. Kaya apa? Ya tergantung juga, kita
salahnya apa, dimana, dan siapa yang punya kuasa terhadap job kita.
Dan eniwey ya, ngomong-ngomong perkara menjadi
manusia yang sebenarnya, saat ini kepala guwe ditumbuhi pertanyaan baru, seringkali
muncul pernyataan, “Jadilah diri sendiri”, dan banyak yang ngomong begini sama
kita, entah itu guru, dosen, ibu bapak, atau emak dan abah : “Jadilah manusia
yang berguna bagi negara dan agama”.
Yang harus didahulukan poin yang mana tuh? Yang
pertama apa yang kedua? Kalo seandainya seorag anak terjebak dalam fakta
jadilah diri sendiri kemudian dia memutuskan untuk operasi kelamin dan menjadi
model papan atas, apakah keluarganya akan bilang kalau dia ini anak yang
berguna bagi nusa dan bangsa?.
Kalo seumpama, si anak memakai poin kedua, i
believe that they would be loved by people, terserah dia jadi apa, pengusaha,
dokter, suster, perawat, guru matematika, guru olahraga, dokter gigi, guru
ngaji, dokter kandungan, dokter hewan, ilmuwan, atau petani sayur. Hanya saja,
apa dengan menjadi seorang yang berguna bagi nusa dan bangsa lantas menjamin
dia akan hidup bahagia? What i mean here is, saat orang-orang disekitarnya
berbahagia berkat kehadirannya, apakah dia sendiri juga tersenyum dalam
hatinya? Sementara dirinya ingin menjadi pelukis? Sementara hati kecilnya tak
pernah suka dengan seragam kantor, karena nyawanya adalah hutan dan gunung yang
harus dijelajah. That was complex, dan akan lebih kompleks lagi kalau ternyata
keinginan dirinya sama sekali bertentangan dengan keinginan keluarganya, yang
sangat dicintai dan tak ingin disakitinya. Hell yeah.
The conclusion is, first expression and the
second undeserved in same time, places, and people. Yet, the effect of that
expression will be different for each people. Sekian analisa saya.
*ngeregangin jari jemari dan punggung*. Jadi,
kembali lagi ke tema awal *yeah, this is always be like it, out of topic* guwe
emang selalu overlap kalo lagi apa-apa. Huffff...
Pernahkan anda yang mahasiswa berpikiran
ingin kembali ke masa SMA? Atau pernahkan berpikir untuk cepat lulus? *ya
ealaahhh*. Begitu pula yang terjadi saat kita SMA, berpikir ingin sekali jadi
SMP lagi, saat mata pelajaran bahasa indonesia nggak rumit dan mudah
dimengerti, saat pelajaran IPA dan IPS nggak bikin kepala botak, dan masa-masa
unyu dimana muka jerawatan pun nggak akan jadi masalah. Pun, saat SMA muncul
keinginan untuk segera kuliah, bertemu teman baru, dunia baru, kecengan baru,
dan bebas dari seragam monoton dari senin sampe sabtu *Hey, i love to use that uniform*.
Dan oh iya, kuliah lebih enak karena hari belajarnya Cuma senin sampe jumat
doang.
Anak SMP? Ask yourself, karena even me,
pernah berpikir hal yang sama, yang ternyata nggak disadari ini terjadi
berulang, ternyata memori kita pun bekerja siklis, berputar-putar saja dalam
bentuk yang sedikit berbeda, hanya saja sering tak kita sadari.
Satu hal yang menjadi kesimpulan dari fakta
di atas adalah kita manusia punya kecenderungan untuk lari dari keadaan. Mengharapkan
yang lain karena yang dialami saat ini ternyata tak menyenangkan, kemudian
muncul keinginan untuk mengulang masa lalu yang ternyata lebih indah kalau
dipikirkan lagi. Atau berharap tahun depan muncul lebih cepat karena hari esok
selalu menyediakan kejutan dalam setiap misterinya. Kita selalu ingin bahagia
dan tertawa. Ingin nyaman dan terlindung, tapi hidup yang dijalani seringkali
tak sesuai harapan. Terlalu menyakitkan dan mengerikan, atau mungkin too bored.
Sejauh yang guwe inget dalam perjalanan hidup
guwe, fase sekolah yang nggak pernah bikin guwe ingin melarikan diri adalah
jaman guwe TK. Menari, bernyanyi, menggambar, belajar nulis, didongengin sama
ibu guru, dan bawa bekal pas hari jumat, isinya kadang nasi goreng, tumis
sayur, telor dadar, atau bahkan Cuma mie goreng. But admit it, you love this
time yep?.
Saat tak ada banyak tekanan, saat pola
berpikir kita adalah rumah, sekolah, pulang, makan, main, ngaji, dan tidur. Tak
ada galau, tanpa cemburu, tak ada persaingan antar geng, dan tak ada beban
pikiran untuk masa depan.
Sepertinya pendidikan di kita harusnya lebih
banyak mengadaptasi gaya mendidik saat TK kali yah? Pengajar bukan hanya
menyuapi murid dengan ikan goreng, tapi mengajari murid belajar memancing,
meminjamkan pancing dan umpan, kemudian mengajak ke kolam ikan untuk
bersama-sama memancing ikan disana.
Terima kasih.
And anyway, ini postingan terpanjang yang
pernah guwe bikin nih *smirk*.
0 komentar:
Posting Komentar
leave your footprint here ;)