Hal terberat
dari menyayangi adalah saat kita tak bisa melakukan apa-apa untuk orang yang
kita sayang, dan hanya bisa menyaksikan mereka semakin terpuruk, merasa tak
berdaya, tak mampu berbuat apapun, dan yang bisa kita berikan hanya sebuah
telinga yang tak cukup baik untuk menampung keluhnya, sebuah hati yang selalu
berdoa untuk kehidupannya, kebahagiaannya dan senyumannya.
Umur yang tak terlalu jauh membuat kami
sempat diperlakukan layaknya kembar. Hingga kelas 4 SD sepatu kami masih sama,
jaket army kami masih sama, hanya sedikit berbeda ukuran, bahkan kelas 6 SD,
saat rambutku sudah panjang, dan rambutnya selalu begitu saja -2 cm di atas
kulit kepala- masih saja kami dibelikan jaket jins yang sama oleh mamah.
Dibanding aku yang dingin, dia perasa dan
peka, emosional, mudah meledak, dan marah. Sering aku menyindirnya, kalau
sebenarnya yang perempuan itu adalah dia, dan aku laki-lakinya. Dan bukankah
itu menyenangkan? Memiliki seorang kakak laki-laki. Setidaknya itulah yang aku
impikan, dan tentu saja tak akan terlaksana, bagaimanapun caranya, karena aku
adalah anak pertama, oke, bahkan aku adalah cucu pertama dari kedua pihak
orangtuaku. Menyedihkan sekali. Maka tanpa aku sadari aku terlalu sering
bergantung padanya, aku banyak bermanja padanya. Tak heran, posisi kami seakan
bertukar, dia menjadi anak tertua, dan aku yang menjadi sang adik. Dia menjadi
pengalah, dan aku sang egois. Aku tak suka sebenarnya saat dia selalu lagi-lagi
mengalah untukku. Aku benci pada dirinya yang tak pernah memaksa diri untuk
didahulukan daripada aku. Aku benci dia yang enggan egois. Aku benci dia yang
seakan berkata “Bergahagialah kamu”. Dan ketika aku bertanya “Lalu bagaimana
dengan kamu?”. Dan ia hanya menjawab dengan senyuman. Kenapa kita tak bisa
bahagia bersama-sama? Apa kalau kau ingin bahagia aku tak akan mendapat
kebahagiaan, sehingga akhirnya kau memutuskan berdiam di dalam sana? Bukankah setiap
manusia memiliki kebahagiaannya sendiri? Kenapa tak kau cari sumber tawamu? Kebahagiaanmu?
Passionmu? Mimpimu?.
Dia adalah saudara terbaik di dunia. Tak peduli
dia sering menjadikanku sasaran pukul saat kami kecil tak peduli dia sering
mengomeliku dan tak terlalu peduli urusanku, dia tetap yang terbaik.
Saat perang itu disulut, saat bom atom itu
meledak, lagi-lagi, aku sang orang asing hanya bisa mendengar dan semakin
terasing. Semakin tak mengenal, semakin tak dikenal, semakin tak tahu, dan makin
tak diketahui. Tak pernah kuketahui luka-lukanya, tak kutahu bilur lebam dan
bekas perihnya dimana, karena dia berdiam.
Lagi-lagi itu demiku. Saat lagi-lagi dia
menolak untuk sekolah demiku. Lagi-lagi dia membuatku ditumpuki banyak beban. Aku
tak masalah dengan beban itu, masalahku adalah kenapa tak sekali saja kau egois
untukmu?. Bukan untuk orang lain?
Lalu, setelah semua beban itu, semua rasa tak
nyaman itu, seluruh kesakitan ini,
Kenapa dengan beraninya kau bilang sepertinya
kau harus pergi? kau kira kau ini Cassanova?
Berhentilah mundur, karena aku takkan
memaafkanmu kalau kau tak bahagia.
Tahu kau kenapa? Karena aku sayang padamu.
0 komentar:
Posting Komentar
leave your footprint here ;)