Ketika gua mundur kembali dan melihat ke
belakang, gua berjengit hebat dan tersentak melihat fakta telah beribu detik
gua buang begitu saja. Agak menyesal. Tapi nggak terlalu juga sih. gua anggap
beberapa bulan belakangan ini adalah penebusan dosa buat adek-adek gua termasuk
almarhum babeh gua yang nggak pernah gua urusin selama ini. Gua bersyukur, gua
bisa ngurus mereka, nungguin mereka pulang sekolah, nyuapin makan, nyiapin
makan mereka sorenya, dan marah-marah sama mereka kalo ngeyel nggak mau mandi.
Dan gua, amat bersyukur, bisa menemani bapak,
sampai helaan nafas terakhirnya.
Bisa duduk di dekatnya, dan membacakannya
surat yasin.
Ada beberapa fase kehidupan yang belakangan
karena terlalu rushed, sampe bikin gua kelelahan dan shock akan semua ini, semua
terasa sangat terburu-buru, seperti dikejar sesuatu. Gua seperti nggak pernah
percaya kalau beliau telah pergi, hampir di seluruh malam gua, gua selalu
bermimpi tentang beliau. Bahkan saat beliau dinyatakan meninggal, dan
dimakamkan, gau sama sekali nggak menangis.
Terlalu mengejutkan sesungguhnya.
Karena selama ini gua punya keyakinan dan
kepercayaan diri yang tinggi kalau beliau bakalan sembuh dan kembali seperti
bapak kami yang biasanya. Gua terlalu percaya dengan anggukan kepala beliau,
saat gua tanya “Bapak kepengen sembuh kan?”.
Anggukannya itu gua anggap pernyataan bahwa beliau
benar-benar ingin sembuh melawan segala sakitnya, dan berdamai dengan dirinya
sendiri.
Satu kemungkinan itu ; Kematian. Tentu saja
pernah terpikir oleh gua, ketika melihat beliau terbaring lemah, dengan bobot
tubuh yang menurun drastis akibat tak pernah makan apapun, dan tatapan matanya
yang kosong, juga kemampuannya dalam mengingat. Karena di akhir hayatnya, hanya
beberapa kali saja beliau ingat akan putra-putrinya.
The rest is; dia seperti tinggal entah
dimana, ia seperti kehilangan jiwanya.
Satu hal yang pasti selalu gua yakini tuhan
tahu yang terbaik buat kita.
Adalah ketika ia memanggil bapak kami, dan
menariknya ke sisi-Nya, itu artinya tuhan lebih sayang pada ayah kami, untuk
akhirnya memanggilnya.
Malam itu, nggak ada yang tahu, ketika nafas
beliau memendek, dan tubuhnya berkeringat dingin, saat gua membacakan surat
yasin di dekatnya, tubuh gua bergetar hebat, membayangkan kemungkina terbesar
dari semua itu ; Kematian yang berputar-putar hendak mengambil ayah kami.
Seluruh pikiran gua dengan hebatnya bekerja
sama menolak kemungkinan itu, dan meyakinkan diri kalau bapak pasti bisa
melewati malam itu, beliau hanya sedang kesakitan seperti biasa, dan akan
mereda sebentar lagi.
Beberapa ayat surat yasin yang gua baca
tersendat karena suara gua yang tercekat dan mata gua yang berembun, ditambah,
kepala gua yang terasa berputar. Bumi berotasi, dan tuhan lupa membuat gua tak
sadar kalau kami makhluk yang berada di dalamnya ikut berotasi.
Selesai bacaan yasin gua yang kedua kali, gua
menatap mamah yang panik dan mencoba menelepon adik-adiknya, menatap tubuh
bapak, dan mengusap kepalanya. Bahunya sudah tak bergerak. Dan nafasnya sudah
tak terdengar. Tubuh gua semakin terasa limbung, dan semakin tinggi hantaman
yang datang, semakin gua berusaha kabur dari kenyataan itu, gua mecoba
mengecek nadi beliau yang sudah tak
berdetak, denyut jantungnya. Dan memanggil-manggil namanya. Berulang kali.
Seakan beliau tengah tertidur pulas, dan gua
harus membangunkannya agar gua yakin kalau beliau baik-baik saja. Namun tentu
saja tak ada gerakan apapun. Apalagi sahutan. Sepi.
Masih dalam ketidak percayaan, dan
penyangkalan, karena tubuhnya masih terasa hangat, gua selimuti beliau, dan
menunggu orang lain datang ke rumah kami. Tak percaya tentu saja. Beliau bahkan
tak nampak kesakitan, seperti bapak yang biasanya. Hanya nafasnya saja yang menjadi rapat,
sampai akhirnya tak lagi mengambil nafas.
Hingga dini hari itu, orang datang dan
mengucapkan Innalillahi, gua masih diam, dan yakin dalam hati kalau dia salah
diagnosa, sebentar lagi bapak akan bangun kembali mengejutkan orang-orang yang
datang. Tapi tentu saja tidak. Bapak tetap terbujur kaku. Dan tubuhnya semakin
dingin.
Hari itu beliau telah pergi.
Dan semakin kenyataan memaksa gua mengakui
hal itu, semakin gua menghindari untuk mengakuinya. Penolakan-penolakan itu mewujud
menjadi keengganan gua untuk menangis, dan memilih untuk diam. Padahal hari itu
punggung gua udah terasa kaku dan pengap menahan semuanya.
Tapi tetap saja, rasanya gua nggak punya
kesempatan untuk menangis ketika melihat adek-adek gua yang masih kecil, dan
ibu gua yang berdiri tegar menatap jenazah bapak. Bagaimana bisa gua akan
menangis?. Dan jika gua menangis, kapan gua akan bisa berhenti?.
Hari itu gua nggak menangis.
Dan akhinya gua demam tinggi.
Ya, tuhan sudah mengambilnya kembali.
He’ll never comeback, but you’ll always here.
0 komentar:
Posting Komentar
leave your footprint here ;)