Kenapa segala hal yang berkenaan dengan orang yang spesial dalam hati
kita seringkali membuat kita kesulitan berpikir dan bernafas? Aku tak tahu kau
setuju atau tidak, tapi yang jelas, ini nyata terbukti padaku. Hal-hal yang
mengingatkanku pada orang itu, akan membuatku sekejap berada pada fase trance. Aku merasa jiwaku melayang, dan
pikiranku mengelana kembali ke masa “kami berdua”. Itu sering terjadi begitu
saja, dan dimana saja. Di bus, kampus, atau taman. Jadi sebenarnya,
keberadaanku disini dengan duduk di bangku tempat pertama kali bertemu adalah
melanggar pantanganku sendiri. Beresiko sekali untukku sebenarnya duduk dan
menunggu disini. Bisa saja aku menjadi liar tak terkendali, atau meledakkan apa
yang ada di benakku, di tempat umum macam taman ini.
Seharusnya aku duduk manis saja
di rumah. Menghapus nomor handphonenya, dan segala yang berhubungan dengannya.
Kemudian mulai mengerjakan revisi skripsiku yang sudah 2 bulan tak kulihat sama
sekali. Mungkin itu akan lebih efektif. Semester depan aku sudah jadi sarjana.
Menghadapi hal baru, dan secara otomatis, aku akan bertemu manusia baru, yang
semoga lebih tampan dari dia, dan punya lesung pipi dalam seperti dia. Eh
tidak! Dia tak boleh punya lesung pipi. Paling tidak, kalau dia tersenyum, aku
harus merasa aman dan terlindungi. Tapi lagi lagi aku hanya bisa memarahi
diriku sendiri di dalam hati karena melanggar ikrarku sendiri, dan akhirnya
malah menghubunginya. Menanyakan kabarnya, dan peliknya; meminta bertemu
dengannya.
Sepertinya kepalaku sudah rusak permanen!.
Heh! Gimana kalau gara-gara ini dia berpikir kamu masih berharap sama dia?”
“Ya jelas dia pasti bakal mikir kaya gitu, gimana sih? Sama aja kaya
orang di hutan liat asap di langit. Udah jelas ada yang bakar-bakaran!”
“Iya sih, terus gimana?”
“Iya apanya yang iya?”
“Iya... iya emang aku masih suka sama dia...”
Aaarghh...!!! aku mengacak kepalaku sendiri. Beberapa “aku” dalam
beberapa versi diriku masih berdebat di dalam. Bahkan “aku” yang nomer sekian
malah menyarankan agar aku menggali lubang kuburan dari sekarang. Perdebatan
pelik ini tentu saja tak akan usai kecuali objek perdebatan mengakhirinya
dengan sebuah pernyataan dia datang. Atau tidak. Aku memang menanyakan
kabarnya, dan meminta untuk bertemu dengannya. Tapi hanya sampai itu. Ia bahkan
tak sekalipun membalas pesanku. Lalu sedang apa aku disini? Mengharap dia
benar-benar akan datang?, bagaimana kalau dia ternyata bahkan sudah punya istri
berjilbab lebar, dengan kulit putih merona dan jabang bayi berumur 5 bulan di
perutnya? Mau apa kamu?. Bagaimana kalau sms kamu saja salah kirim? Atau dia
sudah ganti nomor dan kamu nggak tahu?.
Kadang aku ingin punya kemampuan untuk membunuh pikiranku yang banyak
omong ini. Kepalaku ini rasanya penuh sekali dengan berbagai pikiran,
pertanyaan, pernyataan, emosi, dan perasaan. Isinya teramat ramai, dengan aku
yang penuh tawa, dengan aku yang berisi emosi, dengan aku yang banyak bicara,
dengan aku yang sok cantik, dengan aku yang berkacamata, dengan aku yang suka
pesta, dan aku yang sedang berdzikir. Sangat berisik. Ada tombol mute-kah di
kepalaku? Atau aku memang perlu mengunjungi psikiater?.
. . .
0 komentar:
Posting Komentar
leave your footprint here ;)