/1/
Bahwasannya waktu akan selalu berjalan, dan sekeras apapun kita
berusaha, nggak mungkin bisa menghentikan waktu barang sedetik pun. Tak heran
kenapa Imam Ghazali berkata pada murid-muridnya, bahwa hal yang paling jauh
dari kita adalah masa lalu.
Kalau sudah lewat, maka hilanglah ia, walaupun baru berlalu
sepermilisekon yang lalu, ia hanyalah masa lalu dan tak bisa dipanggil ataupun
ditahan-tahan agar tak terlepas dari genggaman.
So,” be nice to your parent
while you can” _Mo Yoo Jung-Reply 1997_.
Setidaknya sejelek apapun mereka hari ini, semenyebalkan apapun,
dan setidak setujunya kita terhadap keputusan yang diberikan oleh mereka kepada
kita, hadapilah.
Karena saat itu, mereka masih ada. Kita masih bebas untuk
membencinya, boleh memandanginya sesuka hati, dan tertidur di pangkuan ibu.
Saat mereka telah tiada, untuk marah pun sudah tak ada ruang,
bahkan untuk menangis pun tak ada guna. Saat itu, akan lebih banyak lagi
penyesalan yang berkelindan dan menggulung isi kepala.
/2/
Gua itung-itung berarti sebentar lagi usia gua sudah menjelang 24
tahun, dan sebenarnya agak mengiriskan juga, sedikit mendebarkan, dan lebih
banyak lagi agak sering gua cemaskan,
Baru gua sadari belakangan ini perihal hati gua yang sepertinya
menolak untuk bertumbuh sejalan dengan bertambahnya usia gua. Gua ingat ketika
kawan gua, Hidut _namanya sih Hida tapi dengan alasan dia sudah tak begitu
cocok jika gua sebut dengan nama itu, maka gua memutuskan dengan memanggil dia
dengan Hidut_ selain dengan alasan utama, gua merasa lebih nyaman saat
mengobrol dengannya menggunakan sebutan itu.
She said that i am like in Peterpan
Syndrome
Agak bingung gua dengan istilah itu, apa persamaan dari gua cewek
cengengesan ga jelas dan beragajulan, amburadul, dan bukan pemerhati penampilan
yang baik ini dengan seekor (atau seorang?) makhluk berpakaian serba hijau dari
negeri dongeng bernama Peterpan?.
Then she explained,
Ketika mendengar
penjelasannya, gua ketawa, sedikit sangsi, tapi agak membenarkan, namun lebih
banyak tak ambil pusing, kemudian melanjutkan makan yang tertunda, hingga
akhirnya terlupa dengan hal itu.
Gua masih sama seperti gua yang sebelumnya, tak banyak berubah,
hanya di rumah saja gua bisa murka seluas-luasnya kepada adek-adek berandal gua
yang semena-mena dan pecicilan, sisanya di depan banyak orang gua masih normal
as myself, kemudian pada satu masa akhirnya beberapa hari (minggu mungkin?),
mendadak saja gua seperti diperlihatkan dengan terang benderang di hadapan gua
tentang diri gua sendiri, bahwasannya gua saat ini sudah bukan anak SMA lagi,
gua bukan remaja hah-hihi yang bisa seenak jidat gelosoran setiap hari di rumah
dan membiarkan emak gua bekerja banting tulang plus ngurus adek-adek gua dan
kehidupan rumah tangga sendirian.
Bahwa ternyata selama ini gua terlalu banyak hidup seenak jidat.
Dan kenyataan yang paling utama, bahwa gua bahkan belum pernah
memersiapkan diri membayangkan berbagi hal-hal privasi dengan orang asing,
membuka hati dan berkompromi dengan seseorang agar bisa bersama dalam kedamaian
dan kasih sayang atau bisa dipersingkat dengan istilah Menikah.
Bahkan pacaran saja bagi gua jauh panggangan dari api.
Didekati lelaki gua senang-senang saja, tapi diserang dan ‘dipaksa’
untuk menyerah dan bergabung menjadi sekutu dengannya atas nama cinta, rasanya.
. . gua tidak sanggup.
Dan demi sikap gua macam itu, gua seringkali bergidik ngeri
dengannya. Wanita macam apakah gua ini yang berkelakuan macam begiu?, dan
bagaimana gua akan bisa merencanakan masa depan gua? Bagaimana kelak gua
memilih pendamping gua?.
Tentu saja, bayangan gua memiliki sebuah keluarga kecil, plus
sepasang bayi mungil dan menggemaskan pernah muncul di benak gua, gua bahkan
sering kebelet punya anak sendiri saat melihat beberapa pasang mata bulat
berkedi-kedip jenaka menatap ke arah gua. Tapi hanya sampai level itu saja. Justru
tahap pintu gerbang bernama pernikahan, dan tegangan-tegangan sebelum
pernikahan itu terjadi seperti fase pendekatan, dating, juga fase deg-degan
menghadapi calon pasangan, gua sama sekali tidak nyaman menghadapinya, dan
cenderung untuk melarikan diri ke alam mimpi alias tidur. Gua suka berkenalan
dan mengobrol banyak dengan orang baru, berdiskusi banyak hal dan berdebat
perkara tak penting. Tapi untuk mengenal orang baru dan bertujuan untuk “Bla.
Bla. Bla” tak tahu kenapa gua sering dilanda mulas mendadak, jantung seperti
diperas, dan pada fase paling parah, gua ogah berdekatan dengan orang itu.
Itulah sebabnya gua terpikir kembali dengan ucapan kawan gua, Peterpan Syndrome dimana gua tidak siap
dengan dunia dewasa dan segala atributnya, kemudia menolak untuk bertumbuh
dewasa.
Mengutip web berbahasa inggris yang terjemahannya nggak gua
cantumin karena ditakutkan jadi salah, *bilang aje kaga bisa* maka gua berikan
versi aslinya :
The ‘Peter
Pan Syndrome’ affects people who do not want or feel unable to grow up, people
with the body of an adult but the mind of a child. They don’t know how to or
don’t want to stop being children and start being mothers or fathers. ~www.sciencedaily.com~
Mungkin gua nggak separah sampe bego banget dan tidak bisa sama
sekali mengurusi kehidupan rumah tangga, tentu saja tidak, karena untuk urusan
mengasuh, mencuci, memasak, dan sejenisnya, gua masih bisa, bahkan untuk naik
pohon sawo atau mencangkul saja gua sanggup *ga nyambung*. Tetapi pilihan untuk
menerjunkan diri ke dunia dewasa, dan melepaskan atribut masa remaja dan
kanak-kanak yang tanpa beban ini masih belum begitu sanggup gua lakukan.
Mungkin itu sebabnya kawan gua sampe pada kesimpulan itu.
Dan sampai hari ini gua masih bingung bagaimana atau kapan gua akan
sanggup untuk terjun bebas ke dunia orang dewasa, yang di mata gua terlalu
mengerikan untuk didiami, terlalu dingin, dan gua sangat takut gua akan
diterjang kesepian jika gua masuk ke dalamnya.
Jika pada saatnya nanti gua berlari ke arah sana, apakah gua akan
menyesali keputusan itu?. Dan satu hal yang lebih gua pertanyakan, apakah gua
rela kehilangan gua yang sebelumnya demi memegang jabatan baru sebagai orang
dewasa? Karena gua sangat takut kehilangan diri gua sendiri.
Dan hingga hari ini gua seringkali termangu sambil terduduk di bis
jurusan Merak-Kp. Rambutan, sepulang kerja masih juga bertanya dalam benak,
bagaimana gua memutuskan masa depan gua?.
Mungkin gua perlu nonton bebrapa kartunnya dulu.
Atau mungkin gua harus menemukan My Own Wendy?
who knows?
0 komentar:
Posting Komentar
leave your footprint here ;)