Hari itu ulang tahunku yang ke 8, ayah datang membawa
sebungkus kado berpita merah muda, aku memekik senang dalam pelukannya, mencium
pipinya yang brewokan tipis dan memintanya menggendongku.
Wangi ayah itu menenangkan. Lembut, hangat, sedikit bau
keringat.tapi aku suka aromanya. Tak banyak aroma lelaki yang kukenal yang khas
mampu kukenal adalah wangi ayahku saja, karena adik lelakiku belum memunculkan
bau apapun selainbau ompol di pagi hari. Pokoknya aku paling suka sama ayahku,
soalnya dia ganteng dan sering kasih aku boneka.
Bau itu sering mucul, di kursi beliau, di kemeja yang tengah
kujemur, di terik panas siang hari dan kami tengah menjemur padi di halaman
rumah. Rumahku beraroma ayah, sangat kental seperti serangga yang menandai
tempat itu sebagai tanah kekuasaanya, begitu mungkin cara ayah menunjukkan
‘Alfa-nya’.
Tentu saja akan aneh sekali pada saat kamu main ke rumah
salah satu temanmu, kemudian –- tentu saja ini amat sangat aneh—karena aku
seperti mencium bau ayahku disana, aku menertawai pikiran dan penciumanku yang
tak biasa itu.
Masa iya, lagipula mau apa ayah kesini?.
Tapi justru sekelebat pertanyaan tak percaya itu membuatku
berpikir seterusnya.
Dan aku perlu membuktikannya, karena sejak aku muncul di
depan rumahnya, wanita berambut sebahu yang dikatakan temanku sebagai ibunya
itu tampak canggung dan seperti salah tingkah jika bertemu pandangan denganku.
Pikiranku bercabang sore itu.
Aku seperti menghadapi dua fakta berlawanan. Kenyataan
seperti apa yang harusnya kuketahui? Atau kebohongan apa saja yang selama ini
disembunyikan dariku?.
Kamu pernah dapat momen dimana kamu sebiasanya betrtemu
dengan orang itu secara naluriah akan langsung bersikap hormat dan melempar
senyum, kemudian masuk dalam adegan dimana ia tengah ‘bercengkrama’ dengan
teman sekelasmu?.
Hari itu aku ingin kalau bisa punya kekuatan untuk
menyemburkan api seperti naga, atau punya kuku Adamantium seperti Wolverine,
atau paling tidak bisa menggunakan mantra Obliviate. Tapi tidak, aku hanya bisa
berdiam kaku seperti mayat fir’aun yang dibalsam, kemudian yang keluar adalah
ucapan “Oh” yang rendah.
Aku menatapnya dengan tatapan kosong. Aku bahkan sudah tak
merasakan sakitnya sama sekali. Orang itu berusaha mendekatiku, memintakan
senyum padaku, dan memohon maaf.
Aku sungguh jijik padanya dan enggan memanggilnya lagi
dengan sebutan apapun. Muak.
Tapi, jauuuh... sekali dalam hatiku, aku ingin menjerit.
Betapa rasa sakit yang diakibatkan oleh hal itu terasa menusuk sangat jauh. Aku
seperti sulit bernafas dengan baik. Aku seumur hidupku mempercayainya sebagai
pahlawanku, dan kini superheroku itulah yang menjadi penjahat di
Gotham City.
Siapa yang harus kupercaya?. Aku sudah tak ingin percaya siapa-siapa lagi.
0 komentar:
Posting Komentar
leave your footprint here ;)