Mianhae...
Gua sungguh
merasa sangat bersalah, cus i let myself do nothing with my head, heart, brain,
hand, time, and this blog. Am just let it passed. Gahhh!!.
Berbulan-bulan
lamanya, i let myself to do nothing, gua ga nulis, boro-boro update blog,
bahkan nulis corat-coret ngawur aja ga pernah. So dumbass. Sesungguhnya gua
ngeri dengan diri gua yang saat ini, tapi apa mau dikata, terkadang semakin
dekat jarak kita dengan segala hal yang memudahkan macam smarphone, nggak
selalu membantu kita menjadi semakin kreatif dan produktif. Faktanya, dalam
kasus gua, gua malah semakin malas dan tenggelam dalam hal-hal tidak penting
entah karena alasan apa.
Weeelll,
that’s an epic opening for my post today.
Lets start
dengan fakta yang terlewat begitu saja ; 6 month left sejak pertama kali gua
menginjakkan kaki di ibu kota.
Dalam doa
gua dahulu kala di masa-masa kritis setelah gua lulus kuliah dan ababil, gua
berdoa semoga tuhan menempatkan gua kerja di Kota Bandung, atau Bali, atau
Yogyakarta, atau Purwokerto, atau Tasikmalaya. Atau mana saja.
Dan gua,
dengan jumawanya, meminta pengecualian
kepada tuhan;
Jangan
berikan gua Jakarta. Karena gua takut dengan jakarta. Karena gua sesak melihat
jakarta.
Kenapa?
Entah. Mungkin karena Jakarta di kepala gua, adalah tempat dimana seluruh
manusia dari penjuru negeri menuju, dan memburu, setiap waktu. Atau mungkin gua
belum bisa menghapus trauma gua pas kecil dulu, jaman TK, gua lomba mewarnai di
Dufan, menjelang pulang, gua merengek pengen eskrim. Dan gua inget kalo tuh
tukang Pedel Pop masih ada di samping bis kita, gua juga masih inget emak gua
udah tidur ayam waktu gua maksa beliau kasih uang jajan. Akhirnya gua turun
dari bis sendiri, dan ternyata tukang eskrimnya udah menghilang entah kemana,
harusnya waktu itu gua naik lagi ke atas, terus nangis-nangis sama enak gua
biar dicariin tukang esnya, atau dicariin sama guru TK gua, ato apalah caranya.
Tapi ternyata waktu itu gua memutuskan untuk pergi sendiri dan mencari tuh
tukang eskrim, yang rasa manis cokelatnya sampe sekarang pun masih terbayang.
Dan tentu saja itu bapak bapak bisa gua temukan. Berbahagialah gua saat itu,
eskrim yang gua impikan akhirnya bisa gua beli.
Kemudian.
Setelah gua
pegang eskrimnya, gua jamah bungkusnya, dan mulai gua gigit ujung atasnya.
Gua melihat
sekeliling.
Sepertinya
saat gua berangkat mencari tukang eskrim, gua ga pake penanda layaknya anak
pramuka kalo menjelajah hutan. Ah iya kan gua masih TeKa waktu itu, jadi belum
ada ekskul Pramuka. Jadi ga memperhatikan perlunya membuat penanda.
Atau mungkin
pada saat gua cari tukang eskrim tak ada yang gua perhatikan selain eskim itu
sendiri.
Karena
setelahnya, gua nggak inget apapun. Yang gua inget adalah gua kehilangan bis
yang seharusnya ada tak jauh dari bapak eskrim itu. Gua ingat menatapi satu
persatu bis yang parkir berjajar dan tak mengenali satupun dari mereka. Gua
inget kepala gua mulai pusing, dan asma gua mulai berasa lagi, gua inget pake
baju terusan item corak bunga merah pink kecil, dan fase bingung itu semakin
meningkat jadi panik.gua berada di tempat yang nggak gua kenali, dan gak gua
kenal, dan orang-orang berbicara dengan bahasa yang hanya bisa gua saksikan di
tipi bukan bahasa sunda yang biasa gua pake sehari-hari. Ah tapi hebatnya gua,
gua tak sampai menangis, gua masih berjalan mencari dalam kesesakan yang muncul
tak tahu karena asma gua, atau karena memang banyak orang disana, atau karena
kepanikan yang bertambah. Dan Syukur alhamdulillah, puji syukur kepada allah
SWT, di ambang pintu bis Budiman itu, guru TK gua berdiri dengan wajah panik
melambaikan tangannya kepada gua, bagaikan malaikat penyelamat.
Ya. Seperti
itulah kira-kira penyebab ketidak sukaan gua dengan Jakarta. Sebuah tempat yang
hampir membuat gua terpisah dari akar gua. Walopun sebenernya itu lebih ke
salah gua sendiri sih, tapi mau gimana lagi? Yang gua inget sekarang kan ya gua
trauma sama jakarta. Yang terisisa dari jakarta di dada gua yang Kesesakan yang
menghimpit, kuota kendaraan yang makin hari makin tak masuk akal, dan manusia
yang tak hentinya bertaruh dengan ibukota tersayang ini.
Hah.
Jadi
begitulah kiranya kenapa gua memberi sebuah doa pengecualian berupa jakarta.
Bah!!
Sombong
sekali makhluknya yang satu ini, sampai-sampai mengajukan syarat kepada
penciptanya? Tahu apa aku soal hidupku?. Lalu akhirnya, dengan kemahaan-Nya,
tuhan membawaku ke sini.
Jakarta.
Sudah
berlalu 6 bulan. dan dalam tiap harinya, tak sedikitpun gua pernah mencoba
untuk benar-benar beradaptasi dengan tanah ini, selalu doa gua adalah tuhan
membawa gua ke tanah harapan itu. The land where am supposed to be, not here.
Ya mungkin gua sendiri menyadari, dalam kapasitas diri gua sendiri yang mudah
sekali terbawa arus, gua tak akan mampu menahan gelombang manusia jakarta, gaya
hidup, sudut pandang, cara pandang, dan kemampuan diri untuk tertawa. Gua
terlalu takut untuk berubah, gua takut jika gua berubah ke arah yang ga bisa
gua kontrol, dan ga gua ketahui.
Tapi ya
bagaimana? Tuhan pasti jengkel setengah mati sama gua yang masih ngeyel aja
nggak ingin di jakarta. Hahaha.
0 komentar:
Posting Komentar
leave your footprint here ;)