Dalam
beberapa masa, sering kurindukan kala aku kecil. Pulang sekolah, memanjat pohon
mangga, pohon jambu air saat sedang musim, dan pohon jambu batu di setiap hari
saat mereka berbuah. Pohon yang berdiri di atas tanah dengan kepemilikan yang
tak kami ketahui, tak kami pahami perkara dosa atau hukuman pidana seperti yang
seringkali terjadi di negeri ini; mencuri buah kakao, kemudian dipenjara. Hal
yang sering kami lakukan dahulu, untung tak ada tetangga atau pemilik kebun
yang melaporkan kami, agaknya mereka paham tabiat kami, atau mungkin karena anak
mereka juga termasuk dalam gerombolan kami para pemanjat pohon ini. Yang
sepulang sekolah langsung nyebur ke empang dengan air berwarna hijau, sambil menaiki
pohon jambu batu liar, memetik buahnya, dan meloncat ke dalam air dalam keadaan
telanjang dengan mulut penuh buah jambu...
Itu bukan jambu super. Bukan jambu
kualitas impor. Hanya jambu yang tumbuh seizin tuhan, tak dipupuki, tak
diperhatikan, tak disemprot pestisida, tak juga disemai dan dibungkusi
buah-buahnya demi menghindari hama. Ia hanya bertumbuh, dan kemudian ditemukan
oleh kami, anak-anak berandal berbau matahari yang berlarian sepanjang jalan
aspal berlubang tanpa alas kaki karena sepatu sudah kami masukkan ke dalam tas
sejak keluar dari gerbang sekolah.
Tak ada
perkara lotion, tak ada istilah tabir surya, atau sunblock yang kami bicarakan, padahal panas bergejolak, dan
matahari terik di atas ubun-ubun kami. Hanya ini yan kami biarakan: Liburan
yang sebentar lagi tiba, rencana kami memancing belut di pesawahan di atas
bukit sana, kemudian rencana kami merampok buah jambu air merah merona entah
milik siapa.
Ya, kulit
kami legam tentu saja. Tapi sayangnya kami tak terlalu peduli itu, hati kami hangat
dan bersahabat.
Tak ada bau
kaporit dalam empang, airnya berwarna hijau dan berbau lumut, seringkali kami
tak sengaja meminum airnya. Ajaibnya, tak pernah seharipun ada dari kami yang
esoknya tak masuk sekolah gara-gara diare disebabkan meminum air empang. Kami
masih selalu bersama berlarian dengan seragam kemeja tak dikancing dan kaki tak
beralas.
Masa lalu
menyenangkan, sebuah kenikmatan dari tuhan, dan kenang-kenangan dari sang maha
pengasih dan penuh cinta bagi kami penerus bangsa ini.
Sebuah kemewahan
yang akan kami rindukan selamanya. Sebuah kisah menyenangkan yang faktanya tak
semua orang mengalaminya, dan tak semua orang bisa merasakan indahnya kisah
kami. Kami mungkin terlambat mengenal bahasa inggris, kami mungkin tak pernah
tahu bagaimana cara menghidupkan komputer, kami tak pernah mengalami masa-masa
bermain plasy station dan tamagochi karena mainan kami adalah seputar adu
jangkrik, adu kelereng, adu gambar, gobak sodor, petak umpet, dan
kucing-kucingan.
Membicarakan
masa kecil itu selalu menyenangkan. Langit biru dengan semburat awan putih
selalu menjadi pemandangan pertama saat ingatan memutar kembali masa itu. Tak
peduli faktanya kami pernah kehujanan saat pulang sekolah, kemudian pulang
dengan berpayung daun pisang yang kami tarik paksa dari pohonnya. Entah milik
siapa tentu saja, atau mungkin pernah kami pulang dengan kaki penuh lumpur dan
seragam terciprat banyak tentu saja karena kami pulang lewat pematang sawah kemudian
memetik buah pepaya, dan terpeleset. Jatuh ke sawah yang baru saja ditanami
benih padi.
Kemudian ibu
mengomel. Kemudian aku dijewer ayah. Tapi tak apalah, aku senang hari itu kami
makan pepaya kuning bersama-sama. Hari
basah berhujan itu akhirnya berakhir dengan tertidur pulas dalam buaian ibu.
Ah, ibu itu senakal apapun aku, semarah apapun beliau tetap saja aku yang
terbaik. Aku putranya.
Sore
menjelang saat sinar matahari menguning mewarnai langit dengan semburat cantik
nan menggoda kami berjalan sambil menenteng mukena, dan para anak lelaki yang
berkerudung sarung kumal. Rasanya selalu bahagia kala mendekati saat mengaji di
mushola dekat rumah. Karena itu artinya akan ada banyak permainan, ucing
sumput, gobak sodor, ucing-ucingan, dan banyak permainan lain yang sesungguhnya
kebanyakan menguras banyak tenaga. Hanya saja, siapa peduli? Kami menikmatinya;
berlarian semburat di bawah terang bulan, ketawa-ketiwi dengan nafas
setengah-setengah karena capek berlari, dan tubuh kepanasan dengan sedikit,
atau kadang berlumur keringat karena selalu jadi ‘ucing’ yang harus mengejar
peserta yang lain.
Fase mengaji
yang terdiri dari membaca al- qur’an, menghapal surat-surat, menghapal
rukun-rukun, belajar dasar tajwid, dan yang terfavorit; menulis arab berlalu
dengan cepat, diakhiri dengan sholat Isya berjamaah. Teriakan “Amiiin” cempreng
yang menggema di seluruh penjuru mushola, atau cekikikan kami yang tak khusyu
kemudian saling menertawakan satu sama lain, menahan geli dan tawa hingga perut
terasa kaku, kemudian pungkas dengan mencium tangan guru ngaji kami.
Hari berakhir.
Dan kami berdebar menanti hari esok dengan senyum cerah, seperti apakah kelak? Memetik
jambu merah di kebun mang Ugan, berenang di kolam ikan milik guru ngaji kami,
lantas pulangnya memetik jambu batu sepuasnya, atau berburu daun Bayur muda
untuk dibuat bola, atau bersama pergi ke hutan mencari daun pakis muda dan
bunga kecombrang untuk ibu di rumah? Ah, kami belum tahu. Yang pasti besok kami
akan bertemu lagi. Membangun rencana, dan berlari bersama.
0 komentar:
Posting Komentar
leave your footprint here ;)