Okay, there is always a problem with our
final task, and we dont have something to do except to accept these, and solve
it. Ada banyak masalah yang mungkin muncul, seringkali sama terjadi pada
beberapa orang, dan ada yang gejalanya berbeda-beda. Semua tergantung situasi,
dan pembimbing mereka.
That problem could be about your computer,
your data, your family, friendship, relationship *ga berlaku buat jomblo* and
of course with their own lecture. Ada yang dimaki-maki, ada yang ga di acc
padahal uda ngedraft 20 kali *ekstrim* ada yang disuruh pembahasan ulang, atau
mungkin ada yang disuruh penelitian ulang? Dan cari judul lain? Who knows??.
Perceraian, petrengkaran, putus, masalah
finansial dan segala rupa problema bisa tumpah ruah di musimnya seorang
mahasiswa tengah menggarap tugas akhir, dosen guwe bilang ini lumrah terjadi di
semua degree, S1, S2, bahkan S3 pun sama saja selalu menghadapi banyak problem.
“Tergantung kita menyikapinya gimana”. Kata ibu waktu itu.
Beberapa teman di kampus yang berkisah memang
banyak menyisakan perjuangan sulit di badai tugas akhir ini untuk akhirnya
mereka bisa menyandang gelar sarjana. Ujiannya tentu saja bermacam-macam. Ada yang
‘Cuma’ begini, ada yang sampe ‘begitu’. Mungkin faktor luckiness juga
mempengaruhi.
Semua problem ini sering bikin kita stuck,
enggan maju, marah, bosan, jengkel, dan seterusnya, kemudian banyak yag
menghilang di tengah gempuran cobaan. Guwe hampir seperti itu. Hiatus hingga
satu bulan, dan kembali ke hadapan dosen pembimbing dengan kemajuan tak
berarti. *dobel pathetic*. Kemudian saat melihat kawan lain yang sudah beres,
sudah acc, sudah ujian, sudah pendadaran, atau nampak lacar-lancar saja, guwe
sering merasa “Jleb. Jleb dan bertanya-tanya, kapan waktuku?. Padahal i know we’ve
our own right time, thats why we dont have to not thinking too much about other
because i believe they are all has their own problem, hanya saja kita nggak
tahu.
Kalo kata bang dika, sehancur apapun kita,
dan segalau apapun rasanya, orang yang melihat kita dari luar tak akan
benar-benar tahu rasanya. Apalagi kalo mereka nggak tahu kita dan masalah yang
kita hadapi. They face us as usual, think, and talk like usual. Sekalipun data
skripsimu hilang seluruhnya, time still walks, dan dunia akan tetap berputar
pada porosnya. Di indonesia siang hari akan selalu 12 jam.
Tapi ya, sebagai manusia sering saja guwe
bertanya, The right time itu sendiri yang kaya apa? Jika si A ngaso terus di
kamar, onlen, pesbukan, ngepoin twitter mantan, tidur, mimpi lulus kuliah, dan
makan. Terus membiarkan skripsi begitu saja, ngerjain asal saja; menghalalkan
cara semacam copy paste demi menyingkat waktu kemudian akhirnya lulus, apakah
itu the right time? Kemudian si B yang getol menemui pembimbing, rajin
konsultasi, tidak malu bertanya, dan banyak revisi, kemudian tak lulus-lulus,
dan ditinggal oleh si A padahal mereka skripsian bareng, itu rasanya gimana
yahh? Kemudian konsep the right time itu sendiri yang kaya apa yahhh?
Dosen guwe pak Nuski pernah bilang pas sesi
kuliah udah mau selese, katanya “Lulus cepet itu nggak ngejamin kamu cepet
dapet kerja atau lebih mapan dibanding temen kamu yang lain”. Kalo dipikir
sekarang udah ga jaman bilang lulus cepet, karena sekarang masanya harus segera
lulus. Tapi bagaimana kalau the right time yang dimaksudkan untuk kita adalaha
seteah kita menjalani dunia kampus lebih dari 5 tahun? Itu rasanya bagaimana? Semakin
dipikirkan, semakin dituliskan, guwe semakin nggak mengerti dengan logikanya.
Eniwey my logic is always in technical
errors, jadi percuma mengikuti logika guwe yang agak nggak jalan inih. But am
just gonna share guys. J
0 komentar:
Posting Komentar
leave your footprint here ;)