Dalam hidup ini, kadang mucul fase dimana
kita nggak tahu apa-apa. Even sampai bertanya dalam hati siapakah kita ini, dan
untuk apakan kita hidup. Namun di satu sisi kepala sudah tak mampu berpikir dan
menganalisa lebih jauh kemungkinan-kemungkinan di depan. Rasanya seperti
keleahan menyerang dari banyak arah dan entah bagaimana menghadapinya.
Pernahkah kamu, siapapun itu, bertanya-tanya,
saat sedang berdiam, menunggu bis di halte, menanti angkot melintas, atau
berdiri di tengah lalu lalang manusia, kemudian menyaksikan adegan kehidupan di
depan mata yang terjadi, dan semua mendadak nampak berbeda begitu saja. Orang yang
berlarian mengejar bis kota, ibu-ibu melintas menggunakan motor matic membawa
belanjaan yang bahkan menutupi tubuhnya sendiri. Sepasang pemuda-pemudi tengah
berpegangan tangan, lelakinya menggunakan ransel lusuh, berdua duduk di pembatas jalan,
menunggu kendaraan melintas. Kendaraan berseliweran dengan berbagai orang yang
mengendarainya, bermacam pikiran, dan beban di dalamnya. supir bus yang tak
hentinya merokok. Mungkin istrinya sakit asma di rumah, atau mungkin ia sudah
bercerai dan memiliki anak yang kini tengah mendaftar kuliah di ITB, atau
jangan-jangan dia bahkan meninggalkan istri dan anaknya begitu saja?. Pengamen anak
yang baru saja menyelesaikan lagu “Butiran Debu-nya” dengan suara
cempreng-hampir habis, berkaus kumal. Siapakah ibunya? Jangan-jangan kami masih
bersaudara jauh? Dimana ia tinggal? Bagaimana ia mendapatkan makannya hari ini,
dan bagaimana ia hidup selama ini?. Apa yang harus kulakukan untuk mereka?.
Demi berpikir satu persatu probabilitas
kejadian kehidupan, bahwa mungkin saja salah satu dari mereka adalah penyihir
Hogwarts, atau bapak-bapak kondektur itu adalah Demigod keturunan Zeus, bisa
saja tante-tante berambut sebahu yang memakai sepatu high heels dan tas Hermes
itu dulunya pernah tenggelam dalam sumur seharian dan hampir mati dan sekarang
menderita klaustrophobia?. Untuk kemungkinan-kemungkinan itu dan kemungkinan
lain yang harusnya aku usahakan dan kulakukkan untuk mereka seringkali membuat
kepalaku sakit dan kebingungan menentukan kemanakah kelak akan aku tentukan
hidup ini?.
Kupikir Cuma aku saja yang mengalami “Brain-Freezing”
ini. Saat dimana otak mengalami kemacetan akut ketika diajak berpikir
menentukan pilihan masa depan. Ternyata adik lelakikku pun sama. Kami sama-sama
kesulitan berpikir dan selalu kebingungan dengan keinginan dalam hidup. Entah
barikade apa yang memblok pikiran kami ini, dan sepertinya itu sudah ada sejak
lama. Membikin otak kami tak berfungsi maksimal.
Saat melihat orang lain. Yang cantik, tampan,
berambut hitam lebat, tak berambut, hitam, albino, kurus kering, kelebihan
berat badan, buruk rupa, tak berjari, kelebihan jari, jelek, atau jelek sekali,
aku tahu masing-masing kami ini diberikan porsi kesakitan masing-masing. Ada yang
level 1, level 2, atau mungkin level 10. Aku tak pernah tahu hidup yang
kujalani ini ada di level berapa, aku hanya cukup tahu kalau tuhan pasti tak
akan memberikan cobaan dan kesakitan yang melebihi kemampuan diriku sendiri. Pernah
kubicarakan mengenai hal ini di posting sebelumnya.
Bukan lupa. Tapi memang aku sering tak sadar
kalau aku ini manusia, bukan robot yang no expression. Aku memang manusia less
expression. But it doesnt mean i dont have feeling and any heart to feel
something. Am just prefer to not expressed it out. Just keep it in myself
doesnt mean that we are okay. But it is better to act like that, act to be like
this, cuz we have to be like this. Bukan berarti kami angkuh atau gengsi untuk
menangis dan meminta tolong. Tapi keadaan yang kami alami saat ini memaksa kami
untuk nampak lebih kuat dibanding orang pada umumnya. Untuk tetap menunjukkan
kalau kami baik-baik saja. Tak inginkah kami mengangis? Tentu saja!! Ingin berteriak
malah kalau bisa. Kadang di dalam sini terlalu sesak untuk diisi lagi, hanya
saja kami sudah terlalu terbiasa berdiam dan akhirnya tak tahu harus bagaimana.
0 komentar:
Posting Komentar
leave your footprint here ;)